![]() |
R@fiq |
SAYA tidak sedang membahas angka-angka statistik yang dipamerkan pemerintah. Saya tidak sedang mempertanyakan laporan resmi yang menyatakan bahwa kemiskinan di negeri ini nyaris nol. Saya juga tidak sedang menuduh ada manipulasi data untuk menggiring opini bahwa rakyat sudah sejahtera.
Tapi, saya ingin mengajak kita semua menengok kenyataan yang terpampang di depan mata. Benarkah rakyat sudah bebas dari kemiskinan, atau kita hanya sedang diajak berpacu dalam ilusi?
Saya ingin menempatkan diri di tengah-tengah antrean panjang penerima bantuan sosial, di antara para pekerja yang di-PHK tanpa pesangon, di sudut-sudut pasar tradisional yang kehilangan pembeli karena daya beli rakyat kian sekarat. Saya ingin melihat dari perspektif mereka yang setiap hari dihantui harga beras yang terus naik, yang bensinnya tak terbeli, yang listriknya nyaris dicabut karena tunggakan.
Saya ingin bertanya kepada mereka yang setiap hari harus menghitung receh demi bisa menyambung hidup: Benarkah kita sudah sejahtera?
Bangunan Megah, Dompet Rakyat Rata dengan Tanah
Di mana-mana kita melihat gedung-gedung baru berdiri. Infrastruktur katanya merata. Jalan tol bertambah, jembatan megah diresmikan, ibu kota baru digadang-gadang sebagai simbol kemajuan. Tapi, di balik kemegahan itu, ekonomi rakyat justru jatuh tersungkur.
Mereka bilang pembangunan ini demi rakyat, tapi rakyat yang mana? Yang punya uang, yang punya modal, yang dekat dengan kekuasaan? Atau rakyat kebanyakan yang bahkan untuk makan sehari-hari harus berutang di warung sebelah?
Sementara itu, harga kebutuhan pokok melambung tinggi. BBM naik-turun sesuka hati, lebih sering naiknya daripada turunnya. Dan entah mengapa, kalau BBM naik, harga-harga ikut naik. Tapi kalau BBM turun, harga-harga pura-pura tidak tahu.
Negeri ini memang unik.
Utang Menggunung, Rakyat Menanggung
Pemerintah berutang hingga Rp7.855,53 triliun dengan dalih demi pembangunan. Katanya ini investasi untuk masa depan. Tapi, masa depan siapa? Yang jelas, rakyat tidak kebagian untungnya, hanya kebagian menanggung bebannya.
Coba kita pikir. Jika ekonomi benar-benar kuat, mengapa negara masih terus berutang? Jika pembangunan benar-benar untuk rakyat, mengapa rakyat malah semakin sulit hidupnya?
Jangan-jangan, semua ini memang hanya tentang kepentingan mereka yang duduk di atas sana.
Rakyat Disuruh Bersabar, Pejabat Berpesta
Dari dulu rakyat disuruh bersabar. Katanya, ekonomi butuh waktu untuk pulih. Tapi sampai kapan? Rakyat sudah bersabar bertahun-tahun, tapi yang didapat justru harga pangan yang makin tak terjangkau, gaji yang stagnan, dan pajak yang terus meningkat.
Di sisi lain, para pejabat justru berpesta. Di hotel mewah, di gedung-gedung megah, di acara-acara seremonial yang hanya menghamburkan anggaran. Mereka bersulang, berbagi jatah kekuasaan, sambil tersenyum melihat rakyat yang terus berjuang sendirian.
Mereka pikir rakyat tidak mengerti.
Mereka pikir rakyat masih bisa dibodohi dengan angka-angka statistik yang tak mencerminkan kenyataan.
Mereka pikir rakyat akan terus diam, menerima nasib, dan berpacu dalam ilusi kesejahteraan yang sebenarnya tak pernah ada.
Silakan saja, jika ingin terus memainkan sandiwara ini.
Tapi ingat, setiap ilusi ada akhirnya. Dan ketika rakyat tersadar, semua kepalsuan ini akan runtuh dengan sendirinya.
Oleh : R@fiq
Posting Komentar