Tapi penulis ingin mengajak Anda sejenak menunduk. Ada satu nyawa muda, 20 tahun usianya, terkapar di warung sederhana hanya karena urusan komentar. Seorang anak bernama WRDN, karyawan swasta dari Desa Cluring, Banyuwangi, meregang nyawa di Gembolo, Desa Purwodadi, Kecamatan Gambiran — malam Sabtu [31/05/2025], pukul 22.00 WIB.
Alasannya? Sepatah kalimat di kolom komentar TikTok. Sebuah komentar yang dianggap melecehkan, ditulis saat SAB — pacar si pelaku — sedang siaran langsung. Tak terima, pelaku berinisial KNC, warga Pesanggaran, langsung mendatangi korban.
Dan di bawah langit malam Banyuwangi, di sebuah warung es teler yang seharusnya menyegarkan dahaga, darah justru mengalir.
WRDN dilarikan ke RS Ar Rohmah, Desa Jajag. Tapi nyawanya tidak tertolong. Sementara pelaku, mungkin digerogoti rasa bersalah, akhirnya menyerahkan diri ke Mapolsek Gambiran.
Kapolsek Gambiran AKP Badrodin Hidayat membenarkan kejadian tersebut. Kini kasusnya ditangani Satreskrim Polresta Banyuwangi.
Lalu kita semua terdiam.
Apa benar semudah itu nyawa ditebus dengan kemarahan sesaat?
Apa benar satu komentar bodoh pantas dibayar dengan hilangnya masa depan anak muda?
TikTok mungkin tak salah. Tapi kita yang salah jika membiarkan media sosial jadi arena adu ego dan dendam.
Satu komentar memicu satu tindakan. Satu tindakan mematikan satu kehidupan.
Dan pada akhirnya, kita kehilangan satu pemuda — bukan karena perang, bukan karena bencana, tapi karena amarah yang dipantik dari layar ponsel.
Penulis, redaksi media globe nasional
Sumber : Sejumblah media
Posting Komentar