no fucking license
Bookmark

Berpacu dalam Utang: Dari Warisan Sri Mulyani ke Bom Waktu Purbaya

 

@rofiq

Layar ekonomi negeri ini, dari tahun ke tahun, tak ubahnya seperti drama sinetron murahan yang terus diputar tanpa jeda. Judulnya selalu sama: “Utang Tumbuh, Rakyat Tersungkur”. Bedanya, aktor yang memegang peran utama berganti-ganti: dulu Sri Mulyani, kini Purbaya Yudhi Sadewa. 


Bedanya hanya wajah, tapi jalan ceritanya tetap sama—rakyat jadi korban. Sri Mulyani selama ini selalu tampil bagai teknokrat glamor, berbicara tentang rasio utang aman, tentang fundamental ekonomi kuat, seolah angka-angka di kertas bisa mengenyangkan perut rakyat. Padahal, rasio itu tak pernah bisa menggantikan sepiring nasi. Lha wong harga sembako makin menjerat, lapangan kerja makin sesak, dan pajak makin menghimpit.


Kini, masuklah Purbaya, dengan gaya blak-blakan di Senayan. Ia berkata ada Rp425 triliun mengendap di Bank Indonesia, dan itulah sebab rakyat sulit mendapat kerja. Pernyataan yang terasa lebih jujur, tapi tetap saja pahit. Sebab dana mengendap hanyalah salah satu gejala, bukan akar penyakit.


Warisan ekonomi dari Sri Mulyani itu ibarat bom waktu. Angka-angka utang yang terus menumpuk, proyek mercusuar yang dibiayai dengan darah pajak rakyat, dan kebijakan yang lebih sibuk menjaga “kepercayaan investor” ketimbang menjaga daya beli ibu rumah tangga di pasar.


Apa beda Sri Mulyani dengan Purbaya? Bedanya hanya gaya bicara. Sri Mulyani berdandan dengan kata-kata teknokrat: “rasio utang aman.” Purbaya tampil blak-blakan: “uang mengendap, rakyat susah cari kerja.” Tapi substansinya sama: rakyat tetap tak mendapat solusi.


Maka jangan heran, bila ekonomi negeri ini bagai kapal tua yang bocor. Presiden berganti, menteri keuangan berganti, tapi bocornya tetap makin besar. Sementara rakyat kecil, nelayan, petani, buruh, hanya jadi tumbal di atas kapal yang nyaris karam.

Kalau saja Sri Mulyani dulu berpikir seperti Purbaya, mungkin bom waktu fiskal ini tak sebesar sekarang. Tapi sejarah tak mengenal “andaikan”. Yang ada hanya fakta: negeri ini mewarisi hutang, mewarisi krisis, mewarisi derita.


Dan kini, Purbaya harus berdiri di atas panggung itu. Pertanyaannya: apakah ia hanya akan jadi aktor baru dengan naskah lama? Ataukah ia berani mengubah jalan cerita, menutup drama murahan ini, dan menulis ulang bab ekonomi Indonesia?

Kalau tidak, ya sudahlah. 


Rakyat akan kembali dipaksa menonton drama yang sama: utang tumbuh, rakyat tersungkur.

Posting Komentar

Posting Komentar