![]() |
Bukan hebat, Memang nekat |
Lho, sudah tahu busuk kok masih diterima?
Andai ini warung, pembeli pasti protes: “Mas, tahu basi kok masih dijual?”
Tapi ini bukan warung, ini proyek negara — kereta cepat Whoosh yang jalannya malah bikin rakyat “whoosh” juga, hilang napas dengar biayanya.
US$7,27 miliar, bengkak sana-sini, tambah cost overrun, katanya bukan dari APBN, cuma “restrukturisasi utang.”
Bahasanya manis, tapi ujungnya tetap rakyat yang nyicil bunganya lewat pajak dan harga naik.
Kalau dipikir logika sederhana,
teknologi dari China, tapi biayanya dua kali lipat dari proyek di China.
Itu namanya bukan efisiensi, tapi prestasi dalam kebingungan.
Luhut bilang dia cuma beresin yang sudah busuk sejak diterima.
Oke, mungkin niatnya beresin. Tapi rakyat juga punya hak bertanya:
Kalau tahu busuk, kenapa enggak dibuang sekalian?
Kenapa malah dirawat seperti bonsai yang tumbuhnya miring tapi dipelihara dengan bangga?
Ambisi pembangunan memang keren di spanduk.
Tapi di balik angka triliunan itu, ada logika yang nyungsep — antara gengsi dan tanggung jawab.
Bangsa ini terlalu sering berlari tanpa menghitung jarak.
Terlalu cepat membangun, tapi lupa mengukur fondasinya.
Whoosh katanya simbol kemajuan.
Padahal, bisa jadi ini simbol ketergesaan.
Yang berlari bukan keretanya, tapi ambisi yang menyalip nalar.
Jadi kalau proyek ini sudah busuk dari awal, lalu dibilang mau dibereskan, rakyat cuma bisa bilang pelan-pelan:
“Yang busuk jangan disiram parfum, Pak. Dibersihkan, atau sekalian diganti yang baru.”
Penulis : @rofiq [ 19/10/2025]
Posting Komentar