Oleh: MediaGlobenasional
Lokasi: Desa Sumberagung – Kecamatan Pesanggaran – Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur
Di selatan Banyuwangi, tepat di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, berdiri sebuah gunung yang dulu menjadi kebanggaan warga: Gunung Tumpang Pitu. Gunung yang dahulu hijau bagai dada bumi yang masih bernafas, kini berubah menjadi lubang-lubang raksasa, menganga seperti luka yang tak kunjung sembuh.
Kawasan yang dulu menyimpan angin segar, suara burung, dan jalur leluhur mencari rezeki dari hasil hutan, kini berganti dengan deru alat berat, debu, dan bayang-bayang ketidakpastian.
Tambang emas masuk. Janji kesejahteraan ikut diumbar.
Tetapi kesejahteraan itu seperti fatamorgana—terlihat dekat, tapi tak pernah benar-benar datang.
Janji yang Terlalu Manis, Realitas yang Terlalu Pahit
Pemerintah daerah maupun pusat selalu membawa satu naskah yang sama: tambang adalah jalan menuju kemajuan.
Anehnya, jalan menuju kemajuan itu justru tidak pernah benar-benar menjejak tanah warga.
Sudah bertahun-tahun tambang beroperasi, tapi pertumbuhan ekonomi Banyuwangi justru berjalan lambat.
Pasar rakyat tetap sepi.
Nelayan mengeluh hasil tangkapan merosot.
Petani padi dan palawija tercekik oleh air keruh dari atas gunung.
Anak muda tetap merantau, karena lapangan kerja "lokal" hanya secuil dan selebihnya dikuasai kontraktor dari luar.
Pertanyaan yang tidak pernah dijawab:
“Jika emas keluar dari perut bumi Banyuwangi, mengapa perut rakyat Banyuwangi tetap kosong?”
Gunung yang Dikorbankan, Bencana yang Menunggu Giliran. Tumpang Pitu dulu dianggap benteng alami yang melindungi pesisir selatan Banyuwangi.
Ketika benteng itu dihancurkan, maka yang datang bukan hanya tambang—tapi juga ancaman bencana.
Longsor dan retakan tanah mulai dilaporkan warga Sumbermulyo dan Sumberagung. Sedimentasi laut meningkat, membuat perairan keruh dan ikan menjauh.
Banjir lumpur menjadi cerita baru setiap musim hujan. Debu yang beterbangan tiap hari pelan-pelan menggerogoti kesehatan warga.
Dulu hutan Tumpang Pitu adalah paru-paru. Kini berubah menjadi paru-paru yang digunting. Masalahnya bukan hanya gunung yang berlubang, bukan hanya sungai yang cokelat, bukan hanya laut yang berubah warna.
Masalahnya adalah masa depan Banyuwangi ikut berlubang. Pemerintah Sibuk Mengurus Izin, Rakyat Sibuk Mengurus Kehidupan
Ketika warga berdiri di pinggir jalan sambil mengangkat poster penolakan, mereka bukan sedang jadi anti-pembangunan. Mereka hanya menuntut sesuatu yang sangat sederhana:
Hidup yang layak.
Alam yang masih bisa diwariskan.
Pemerintah yang tidak buta.
Namun apa yang didengar?
Pemerintah hanya menjawab dengan kalimat: “Izin sudah sesuai prosedur.”
Padahal yang dipersoalkan rakyat bukan hanya izin. Yang dipersoalkan adalah keadilan, keseimbangan, dan keberanian pemerintah untuk memihak rakyat, bukan hanya investor.
Apa guna izin sempurna, jika kehidupan rakyat compang-camping?
Tambang yang Kaya, Rakyat yang Tetap Biasa-Biasa Saja
Banyuwangi kerap dipromosikan sebagai daerah yang “berlari menuju kemajuan”.
Tapi di balik baliho dan video promosi, ada kenyataan yang terlalu sering diabaikan:
Rakyat Banyuwangi Selatan tidak ikut berlari.
Mereka hanya berdiri di pinggir jalan, menonton rombongan kemajuan lewat di depan mata.
Tambang menghasilkan triliunan rupiah tiap tahun.
Tetapi tanya warga Pesanggaran:
Berapa sekolah yang benar-benar dibangun perusahaan?
Berapa petani yang diganti rugi dengan adil?
Berapa nelayan yang kembali berjaya?
Berapa jalan desa yang diperbaiki tanpa syarat?
Jawabannya menyedihkan: lebih banyak janji daripada bukti.
Kesimpulan: Ketika Alam Dikorbankan, Jangan Heran Jika Hidup Ikut Hancur
Tumpang Pitu adalah cermin besar.
Di cermin itu kita melihat wajah pemerintah yang terlalu ramah pada pemodal, tapi terlalu dingin pada rakyat.
Kita melihat gunung yang habis dibelah.
Kita melihat ekonomi yang tetap lemah.
Kita melihat masa depan yang mulai gelap.
Dan pada akhirnya kita sadar:
Tambang emas itu memang menghasilkan emas.
Tapi emas itu tidak pernah benar-benar kembali kepada rakyat Banyuwangi.
Yang tersisa justru lubang.
Lubang di gunung.
Lubang di keadilan.
Lubang di masa depan.





Posting Komentar