Saya tidak sedang bernostalgia tentang masa-masa di mana tangan besi menjadi penguasa dan kebebasan dijaga erat. Saya tidak sedang mengulang sejarah kelam otoritarianisme yang menekan suara-suara perlawanan. Saya tidak sedang mengatakan bahwa di bawah Soeharto, semuanya baik-baik saja.
Tapi, saya ingin membawa kita sejenak ke dalam hati nurani rakyat kecil yang dulu hidup dalam kesejahteraan. Mereka yang pernah merasakan ketentraman di tengah stabilitas ekonomi yang dibangun selama 32 tahun, kini hanya bisa meratap dan merindukan masa-masa di mana kehidupan berjalan dengan pasti. Di dalam relung hati mereka, nama Soeharto masih menjadi simbol masa lalu yang penuh dengan jaminan dan kejelasan.
Mereka tidak memuja otoritarianisme, tetapi merindukan sebuah kepemimpinan yang hadir untuk rakyatnya. Kepemimpinan yang walau keras, tetap memiliki cinta kepada rakyat kecilnya. Dalam benak mereka, hidup di bawah naungan stabilitas ekonomi Soeharto memberikan rasa aman yang tak tergantikan. Kini, mereka harus bergulat dengan kebijakan-kebijakan yang terasa semakin jauh dari harapan.
Pertanyaan yang terus menggema di hati mereka adalah, mengapa kita, rakyat yang dulu dijaga kesejahteraannya, kini dibiarkan merana? Mengapa warisan bangsa yang dulu dipertahankan dengan darah dan keringat, kini dijual murah seolah tanpa arti? Mengapa kini, di masa kepemimpinan yang katanya demokratis, rakyat justru semakin merasa tak berdaya dan miskin?
Mereka yang dulu merasa dilindungi, kini harus menyaksikan aset bangsa diperdagangkan tanpa memikirkan nasib anak cucu. Mereka yang dulu hidup damai, kini terjebak dalam lingkaran utang yang tak berujung. Rakyat yang dulu bisa makan dengan tenang, kini harus menjual apa yang dimiliki hanya untuk bisa bertahan hidup.
Di balik semua ini, ada kerinduan yang tak terbantahkan. Kerinduan pada masa ketika seorang pemimpin, walau dengan segala kekurangannya, masih memiliki rasa tanggung jawab terhadap rakyatnya. Masa di mana pemimpin tidak hanya sibuk membangun citra dan memperkuat kekuasaan, tetapi juga memastikan bahwa rakyatnya tidak kelaparan, bahwa mereka memiliki masa depan yang pasti.
Apakah benar kita kini dipimpin oleh mereka yang lebih mementingkan diri sendiri dan keluarga mereka? Apakah benar kita sedang dipermainkan oleh kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada rakyat? Dan, di mana suara-suara keberpihakan itu, yang dulu selalu menggaung dari setiap kebijakan yang diambil demi kebaikan bangsa?
Rindu itu semakin nyata. Rindu pada masa ketika keadilan masih bisa dirasakan, ketika rakyat kecil masih bisa berharap. Mungkin, memang benar bahwa Soeharto bukanlah pemimpin yang sempurna. Tetapi, setidaknya, ia memiliki hati yang masih berpihak pada rakyatnya. Dan kini, di tengah segala ketidakpastian, rakyat hanya bisa bertanya: kemana perginya pemimpin yang benar-benar peduli pada kami?
penulis Opini : rofiq





Posting Komentar