![]() |
@Rofiq: Nurani yang Terabaikan di Tengah Janji Kosong |
Ketika rakyat mengeluhkan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, ketika sulitnya lapangan pekerjaan menjadi jerat yang tak terhindarkan, alih-alih mencari solusi, yang kita saksikan adalah pembelaan mati-matian dari pejabat tinggi. Mereka seperti takut menghadapi kenyataan bahwa ada sesuatu yang salah dengan kebijakan mereka. Rakyat yang seharusnya menjadi prioritas, justru diposisikan sebagai ancaman yang perlu diredam.
Ambil saja contoh kasus kebijakan impor pangan yang membuat rakyat mengelus dada. Apakah benar-benar diperlukan impor beras di saat para petani kita sendiri kesulitan memasarkan hasil panen? Di mana perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian dalam negeri yang justru semakin ditinggalkan? Alih-alih memberikan subsidi pupuk atau mengurangi beban produksi petani, yang lebih sering kita lihat justru impor yang membanjiri pasar, mematikan usaha petani lokal yang semakin hari semakin tenggelam.
Dan tidak berhenti sampai di situ, mereka yang duduk di kursi kekuasaan seolah lupa bahwa setiap kebijakan yang diambil, setiap rupiah yang mereka habiskan untuk mengelola negeri ini, adalah uang rakyat. Tapi, tahukah kita bahwa mereka dengan santainya menghamburkan dana dalam jumlah fantastis untuk proyek-proyek yang tidak jelas arah manfaatnya bagi rakyat? Proyek yang, bukannya menyelesaikan masalah, malah menciptakan masalah baru bagi mereka yang hidup dari tanah airnya sendiri.
Lihatlah contoh lain, proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang memakan dana ratusan triliun. Apakah rakyat di sekitar IKN merasakan manfaatnya? Tidak, yang ada hanyalah tanah-tanah mereka yang dikuasai pemerintah tanpa hak untuk memiliki, mereka hanya diberikan izin penggunaan sementara. Sementara di sisi lain, perusahaan asing diberikan hak guna tanah hingga ratusan tahun. Di mana keadilan bagi rakyat yang telah hidup di tanah itu selama generasi demi generasi?
Dalam setiap kebijakan yang diambil, kita kerap melihat kemunafikan yang semakin hari semakin nyata. Para pejabat yang seharusnya melayani rakyat, justru sibuk menciptakan citra diri yang bersih dan tanpa cela. Mereka lihai menampilkan wajah penuh senyum di depan publik, sementara di balik layar, ada kepentingan pribadi dan golongan yang terus dijaga rapat-rapat.
Apakah kita benar-benar tidak menyadari bahwa mereka telah membangun diri mereka dengan fondasi kemunafikan? Bahwa setiap janji yang mereka ucapkan, pada akhirnya hanya menjadi hiasan kosong yang tidak pernah ditepati? Dan kita, ratusan juta rakyat yang hidup di bawah bayang-bayang janji-janji itu, seolah menjadi suku cadang yang dipergunakan sesuka hati oleh mereka yang berkuasa.
Maka, apakah salah jika kita menyebut tahun-tahun ini sebagai tahun-tahun kemunafikan? Tahun ketika nurani hilang, digantikan oleh ambisi yang tak pernah puas. Tahun ketika rakyat hanya menjadi objek untuk dikuasai, bukan untuk dilayani. Tahun ketika demokrasi hanya menjadi alat, bukan tujuan.
penulis :@rofiq
Posting Komentar