no fucking license
Bookmark

Negara Gagal, Rakyat Jadi Babu: Pemimpin Dzalim, Hati Nurani Mati!

 

GLOBE NASIONAL - OPINI - Seharusnya, seorang pemimpin diukur dari kemampuannya memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sayangnya, di negeri ini, justru sebaliknya yang terjadi. Pemimpin yang tak mampu memberi makan rakyatnya dengan layak tak layak disebut pemimpin. Buruh migran yang kita sebut sebagai “pahlawan devisa” hanyalah bukti nyata dari kegagalan negara ini. Negeri yang katanya kaya raya, subur makmur, justru mengirim rakyatnya menjadi babu di negara orang. Apakah ini kebanggaan? Tidak! Ini adalah tamparan keras atas kelalaian para pemimpin kita.

Kita bicara soal dzalim ketika seorang pemimpin membiarkan rakyatnya pergi ke negeri orang hanya untuk bertahan hidup. Bayangkan, rakyat kita terpaksa meninggalkan keluarga, anak, dan kampung halaman demi mencari sesuap nasi di tanah asing. Sementara pemimpin negeri ini hanya diam, tak peduli. Ini bukan semata soal devisa yang masuk, ini soal harga diri bangsa yang diinjak-injak.

Di mana negara ketika ribuan TKI di luar negeri menghadapi perlakuan kasar, pelecehan, hingga kekerasan? Di mana negara ketika anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang orang tua karena ibunya harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri asing? Negara ini tidak hanya abai, tetapi juga dzalim. Pasca-reformasi yang katanya membawa perubahan justru menjadi pintu keluar bagi rakyat untuk menjadi buruh migran. Sponsor tenaga kerja berlomba-lomba mengirim rakyat ke luar negeri, tanpa peduli bahwa mereka memiliki keluarga yang butuh perhatian.

Kisah perceraian, anak-anak yang tumbuh tanpa perhatian, hingga trauma yang membekas pada keluarga buruh migran bukanlah cerita baru. Media berkali-kali mengangkat cerita tentang TKI yang diperlakukan tak manusiawi, tubuh yang terbakar setrika, pelecehan, hingga kematian. Namun, apa yang dilakukan negara? Diam. Negara justru memetik keuntungan dari remitan yang dikirim para buruh. Sementara itu, anak-anak tumbuh dalam kekosongan, kehilangan masa kecil bersama orang tua mereka yang bekerja ribuan kilometer jauhnya. 

Ironi terbesar adalah negeri yang kaya ini, dengan segala sumber dayanya, tak mampu memberikan pekerjaan layak bagi rakyatnya. Apakah ini bukan kegagalan yang memalukan?

Dulu, program transmigrasi pernah menjadi salah satu solusi bagi kemiskinan dan pengangguran. Negara hadir dengan membagikan lahan kepada rakyat untuk diolah. Tapi sekarang? Program ini seolah dilupakan, sementara rakyat terus diiming-imingi dengan upah besar di negeri orang. Seharusnya, negeri ini bisa membuka lebih banyak lapangan pekerjaan. Seharusnya, rakyat bisa bekerja dan hidup sejahtera di tanahnya sendiri. Tapi nyatanya, para buruh dianggap pahlawan devisa, padahal mereka hanya korban dari sistem yang gagal memberi mereka kehidupan layak di negeri sendiri.

Upah buruh di luar negeri memang lebih besar. Tapi, bukankah ini sebuah ironi? Bagaimana mungkin negeri yang kaya sumber daya alam ini tak mampu memberi upah yang layak? Apakah rakyat harus selalu menjadi babu di negeri orang hanya untuk hidup sedikit lebih baik? Ini seperti pepatah lama, “ayam mati di lumbung padi.” Negeri ini kaya raya, tetapi rakyatnya tersebar menjadi pembantu di negeri orang.

Lihat pula soal haji. Antrian haji bisa mencapai 30 tahun! Ini gila. Bagaimana mungkin negara yang kaya raya ini tak mampu mengelola dana haji dengan baik? Di mana uang rakyat? Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun kesejahteraan malah tersendat entah di mana. Sementara, rakyat harus menunggu puluhan tahun hanya untuk beribadah ke Tanah Suci. Negara kita terjebak dalam lingkaran keserakahan, di mana hanya segelintir orang yang menikmati kekayaan, sementara rakyat kebanyakan berjuang dengan tangan kosong.

Kegagalan negara ini bukan soal angka devisa atau kebanggaan akan buruh migran. Ini adalah soal harga diri. Sebuah negeri yang kaya tak seharusnya membiarkan rakyatnya hidup sebagai pembantu di negeri asing. Pemimpin yang tak mampu memberi rakyatnya kehidupan layak di tanah sendiri tak layak memimpin. Jika negeri ini tak bisa menggaji rakyatnya lebih baik dari yang ditawarkan negara lain, maka negeri ini gagal. Jangan pimpin negara kalau tak bisa memenuhi hak rakyat untuk hidup layak.

Negara ini tak boleh terus-terusan bersembunyi di balik narasi “pahlawan devisa”. Di balik istilah itu, tersembunyi realita pahit kegagalan dan pengabaian. Rakyat yang bekerja di luar negeri bukanlah kisah sukses, melainkan sebuah tragedi besar. Pemimpin yang membiarkan ini terus berlangsung adalah pemimpin yang dzalim. Sudah waktunya kita menuntut tanggung jawab, karena sejatinya rakyat harus bisa hidup layak di tanahnya sendiri.

penulis : @rofiq
Posting Komentar

Posting Komentar