no fucking license
Bookmark

GARUDA BERLUMUR DARAH, INDONESIA DALAM GELAP

 

Azam Khan: Negeri Ini Telah Dikuasai Penguasa yang Dzalim
GLOBE NASIONAL - JAKARTA - Azam Khan memeluk Sang Garuda. Bukan dalam kebanggaan, bukan dalam kemenangan, tetapi dalam perih yang tak tertahankan. Di dadanya, lambang negara itu berdarah-darah, koyak oleh luka yang terus menganga. Matanya basah, bukan hanya karena kesedihan, tetapi karena pandangannya semakin gelap—seperti negeri ini yang dipaksa meraba dalam kegelapan yang diciptakan.

Dulu, kita pernah menebas belenggu penjajahan dengan darah dan air mata. Kita pernah berdiri di hadapan dunia dengan kepala tegak, meneriakkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang merdeka. Tapi kini, apakah benar kita masih merdeka?

Setiap hari, rakyat negeri ini bangun dengan dada sesak, kepala pening, dan isi dompet yang semakin menipis. Mereka tak tahu harus menyalahkan siapa. Penguasa? Mereka terlalu sibuk mengurus bisnis keluarganya. Oposisi? Mereka lebih sibuk mencari panggung untuk kepentingan sendiri. Hukum? Sudah lama ia menjadi pelayan bagi yang berduit. Sementara rakyat? Mereka hanya bisa menatap langit, berharap hujan turun bukan sekadar air, tapi juga keadilan.

Ini bukan lagi tentang harga sembako yang naik. Bukan lagi tentang utang negara yang semakin menumpuk. Bukan lagi tentang anak-anak yang putus sekolah karena biaya pendidikan yang semakin menggila. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam: negara ini sudah mati. Kita hanya sedang menunggu pemakamannya.

Lihatlah di sekeliling. Garuda itu tidak terluka oleh musuh yang datang dari luar. Luka-luka itu ditorehkan oleh tangan-tangan yang harusnya melindungi. Sayapnya patah bukan karena angin badai, tetapi karena keserakahan yang menggerogoti dari dalam. Negeri ini bukan dirampas, tetapi diserahkan.

Azam Khan menundukkan kepala, merasakan betapa sakitnya negeri ini ketika penguasa berbuat semaunya sendiri, tanpa peduli pada Pancasila yang seharusnya menjadi nafas bangsa.

Ketuhanan Yang Maha Esa? Hanya tulisan di dinding. Agama dipermainkan, ulama dibungkam, dan keadilan bagi mereka yang menuntut kebenaran menjadi barang langka.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Omong kosong. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat ditindas, sementara mereka yang berkuasa hidup dalam kemewahan yang tak tersentuh.

Persatuan Indonesia? Kini lebih mirip perpecahan yang disengaja. Rakyat diadu domba, dibuat saling curiga, sementara mereka yang duduk di atas menertawakan kebodohan kita yang mudah dipecah belah.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan? Hikmat telah lama mati, digantikan oleh nafsu kekuasaan. Demokrasi hanya ilusi, suara rakyat hanya formalitas, karena keputusan sudah dibuat jauh sebelum rakyat bersuara.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia? Keadilan hanya milik mereka yang punya uang dan koneksi. Rakyat kecil tak lebih dari angka dalam statistik, tak dianggap kecuali saat pemilu tiba.
Negeri Ini Milik Siapa?

Coba lihat ke sekitar. Lihat bagaimana penguasa memperlakukan negeri ini seperti warisan keluarga. Jabatan diwariskan kepada anak, menantu, cucu, seperti negeri ini tanah pribadi mereka. Undang-undang bukan lagi dibuat untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk memastikan mereka tetap berkuasa. Jika ada yang berani melawan, satu per satu mereka dilenyapkan, baik dengan cara halus maupun kasar.

Azam Khan, dengan mata merah penuh amarah, hanya bisa menggeleng. Negeri ini sudah dikuasai penguasa dzalim yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Rakyat dibiarkan hancur perlahan, diperas, dihisap, dijadikan sapi perah. Anak-anak mereka hidup di istana, menikmati kekayaan yang tak habis tujuh turunan, sementara anak-anak rakyat harus puas dengan sekolah yang gedungnya hampir roboh.

Harga pangan melambung, rakyat berteriak dalam lapar, sementara mereka yang duduk di singgasana tetap berpesta. Hukum bukan lagi pedang keadilan, melainkan alat untuk menekan siapa saja yang berani bersuara. Pendidikan mahal, kesehatan menjadi barang mewah, dan hidup di negeri sendiri terasa seperti hidup di tanah asing.

Dan di tengah segala kepayahan ini, muncul gerakan Indonesia Gelap. Bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi jeritan dari mereka yang telah kehilangan harapan. Gelap bukan karena malam, tetapi karena cahaya sengaja dipadamkan.
Negara Ini Sudah Mati, Kita Hanya Menunggu Pemakamannya

Lihat bagaimana rakyat dipermainkan. Harga BBM naik? Katanya untuk kepentingan negara. Pajak naik? Katanya demi pembangunan. Rakyat miskin bertambah? Katanya kita harus lebih bersyukur. Semua dicarikan dalih, semua dipelintir. Dan sialnya, kita semua dipaksa untuk percaya.

Lalu, di mana rakyat dalam semua ini? Mereka tak lebih dari angka di KTP, yang hanya berguna saat pemilu tiba. Mereka dipanggil, diberi janji-janji manis, ditinju dengan propaganda, lalu ditinggalkan begitu saja setelah kemenangan diraih. Demokrasi? Bukan lagi suara rakyat. Demokrasi kini hanya milik mereka yang punya cukup uang untuk membelinya.

Kita tidak sedang menunggu perubahan. Kita hanya sedang menunggu babak terakhir dari sandiwara ini. Ketika negeri ini akhirnya benar-benar tenggelam, ketika rakyat akhirnya menyadari bahwa mereka sudah terlalu lama dibohongi, saat itulah pemakaman negara ini akan dimulai.

Dan pertanyaannya: sampai kapan kita hanya jadi penonton?

Penulis opini: Azam Khan
Editor: R@fiq
Copyright © mediaglobenasional.com, Sabtu 22/02/2025

Posting Komentar

Posting Komentar