![]() |
Arofiq |
GLOBE NASIONAL - BANYUWANGI - Kita sedang duduk di meja makan yang megah. Piring-piring emas berkilauan, hidangan tersaji berlimpah, dan para tamu tertawa seolah pesta ini akan berlangsung selamanya. Tapi di bawah meja, ada timer berdetak. 10… 9… 8… Tak ada yang mendengar. Tak ada yang peduli. Prabowo baru saja duduk, tapi bom itu sudah dipasang jauh sebelum ia tiba.
Indonesia kini menghadapi realitas yang tak bisa ditampik: utang negara telah mencapai Rp7.000 triliun dan setiap warga negara, sejak bayi hingga lansia, memikul beban sekitar Rp24 juta per kepala. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah jerat yang, jika salah langkah, bisa menyeret kita ke krisis fiskal yang lebih dalam dari kubangan lumpur.
Prabowo mengambil alih pemerintahan seperti seorang kapten yang baru naik ke kapal saat ombak mulai menggila. Jokowi telah menancapkan jangkar utang begitu dalam, dan pertanyaannya adalah: apakah Prabowo akan menariknya atau justru menambah beban yang akhirnya menenggelamkan kapal ini?
Di titik ini, Prabowo tak punya banyak pilihan. Hanya ada dua jalan:
1. Mengendalikan utang dan membersihkan warisan busuk ini
Skenario terbaik adalah memastikan setiap rupiah yang keluar benar-benar produktif. Tapi apakah ini mungkin? Ketika anggaran untuk program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) awalnya dipatok Rp71 triliun, lalu melonjak jadi Rp171 triliun di tahun pertama, kita bertanya: dana dari mana?
Jika strategi pemerintah adalah menambah utang baru untuk menambal utang lama, maka kita tidak sedang membangun ekonomi—kita sedang membangun istana pasir yang akan runtuh diterjang gelombang pertama krisis global.
2. Menutup mata dan menyalakan mesin pencetak utang lebih besar
Jika ini yang dipilih, maka Prabowo bukan penyelamat, melainkan eksekutor terakhir ekonomi Indonesia. Kita sudah melihat bagaimana Yunani tumbang, Venezuela runtuh, dan Sri Lanka hancur karena pola yang sama: utang membengkak, ekonomi stagnan, lalu rakyat dikorbankan.
Jokowi telah meninggalkan warisan berupa mega proyek yang belum tentu menguntungkan, dari IKN yang menelan ratusan triliun hingga investasi yang masih abu-abu. Prabowo harus memilih: menjadi dokter yang menyelamatkan pasien atau tukang gali kubur yang memakamkan harapan rakyat.
Rakyat yang Selalu Disuruh Berhemat, Tapi Para Elit Berpesta
Di tengah semua ini, pertanyaannya tetap sama: kenapa selalu rakyat yang diminta berhemat?
Ketika BBM naik, rakyat diminta memahami keadaan ekonomi negara.
Ketika pajak dinaikkan, rakyat disuruh patuh demi pembangunan.
Ketika harga kebutuhan melonjak, rakyat diberi narasi "demi kesejahteraan bersama".
Tapi lihatlah ke atas, di meja para pejabat:
- Proyek IKN tetap jalan meskipun rakyat di Kalimantan menjerit karena tanah mereka hanya diberi hak guna, bukan hak milik.
- Anggaran untuk birokrasi tak pernah dipotong, gaji pejabat terus naik, sementara pegawai rendahan di-PHK karena "efisiensi".
- Investasi asing tetap masuk dengan hak hingga 190 tahun, sementara rakyat hanya boleh menyewa tanah mereka sendiri untuk 10 tahun.
Jika Prabowo tetap mempertahankan skema ini, maka ia tidak lebih dari kelanjutan pemerintahan sebelumnya dengan wajah yang berbeda.
Tiga Peluru Terakhir: Jika Prabowo Mau Selamat, Ini yang Harus Dilakukan
Saya tidak ingin hanya mengkritik tanpa solusi. Sebagai pemimpin redaksi yang telah mengamati ekonomi selama bertahun-tahun, ada tiga langkah penyelamatan terakhir:
-
Berani Menghentikan Proyek yang Tidak Produktif
- Jika IKN tidak bisa membuktikan manfaat ekonominya, hentikan! Jangan buang ratusan triliun hanya demi ego politik.
- Jika proyek BUMN tak menghasilkan keuntungan, rombak manajemennya!
-
Hentikan Utang Konsumtif, Fokus pada Investasi Nyata
- Bukan utang untuk membayar program populis, tapi utang yang benar-benar menciptakan pertumbuhan ekonomi.
- Prioritaskan sektor produktif: pertanian, manufaktur, dan teknologi.
-
Berani Mengurangi Beban Rakyat, Bukan Justru Menambahnya
- Hentikan wacana pajak baru yang hanya mencekik rakyat kecil.
- Pastikan anggaran subsidi benar-benar sampai ke yang membutuhkan, bukan bocor ke mafia proyek.
Prabowo di Titik Nadir: Pemimpin atau Penjagal?
Lima tahun ke depan akan menentukan: apakah Prabowo akan dikenang sebagai pemimpin yang berani membalikkan keadaan, atau sekadar penerus yang menghancurkan warisan terakhir rakyat?
Di sinilah momen kejujuran seorang pemimpin diuji.
Di hadapan angka-angka yang tak bisa dibantah.
Di hadapan rakyat yang menanti bukan sekadar janji, tapi bukti.
Prabowo, ini bukan tentang popularitas. Ini tentang apakah kau akan menjadi pahlawan atau justru nama yang akan dicatat dalam sejarah sebagai eksekutor terakhir ekonomi Indonesia.
Tic… tac… tic… tac…
Bom itu masih berdetak.
Arofiq, SE
Pemimpin Redaksi Globe Nasional
Posting Komentar