![]() |
Foto : Azam khan |
Kita tidak buta. Kita hanya sedang disuruh pura-pura tidak melihat.
Negeri ini rusak bukan karena rakyatnya bodoh, tapi karena pemimpinnya asal comot. Yang dipilih bukan karena nurani, tapi karena jaringan. Yang dijadikan penguasa bukan karena akhlaknya, tapi karena dendam sejarah.
Apa kita lupa? Dulu, PKI pernah ingin menghapus Tuhan dari Tanah Air. Mengubur para kiai, menjarah pesantren, membakar ladang-ladang iman. Maka Orde Baru berdiri karena sejarah itu tidak boleh berulang. Dan itu bukan mitos. Itu fakta.
Sekarang, mereka yang dulu ditolak sejarah, malah mulai duduk di singgasana. Bergaya sebagai reformis, padahal luka lama belum sembuh. Mereka masuk lewat pintu demokrasi, lalu menutupnya rapat dari kritik rakyat. Rakyat bicara sedikit—dipolisikan. Kritik dianggap makar. Kebenaran dianggap kegaduhan. Ketika rakyat bertanya, jawabannya: penjara atau pasal karet.
Saya rakyat biasa. Tapi saya punya mata, punya telinga, dan masih punya hati.
Kalau negeri ini mau selamat, kembalilah ke UUD 1945 yang asli, yang lahir dari keringat dan darah para pejuang, bukan hasil revisi elite yang sibuk jaga kursi. Kembalilah ke Pancasila yang sejati, bukan yang hanya dipajang tapi tak pernah dijalankan.
Dan yang paling penting—turunan PKI atau simpatisannya jangan pernah diberi ruang jadi penguasa. Bukan karena balas dendam, tapi karena mereka tak pernah meminta maaf atas sejarah kelam itu. Mereka bukan menawarkan masa depan, tapi membawa bara yang siap membakar negeri ini lagi.
Kalau mereka cinta negeri ini, harusnya mereka tahu diri. Tapi sayang, dendam lebih kuat daripada akal sehat. Maka yang korupsi malah dilindungi. Yang melawan malah dicari-cari.
Negara ini perlu pemimpin yang waras, bukan waris. Pemimpin yang tunduk pada rakyat, bukan tunduk pada partai. Pemimpin yang takut pada Tuhan, bukan takut kehilangan jabatan.
Negeri ini bukan milik siapa-siapa, tapi milik seluruh rakyat. Dan rakyat punya hak untuk bersuara, menolak, bahkan melawan jika sejarah diputarbalikkan.
Posting Komentar