no fucking license
Bookmark

Azam Khan: Gelar Pahlawan untuk Soeharto Harus Melalui Kajian Rakyat, Bukan Dorongan Elite

 

Azam Khan
MEDIA GLOBE NASIONAL -Jakarta — Advokat dan aktivis nasional, Azam Khan, menegaskan bahwa wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, tidak boleh dilakukan secara terburu-buru dan harus melibatkan aspirasi rakyat, bukan hanya dorongan politik dari kelompok tertentu.

Dalam rekaman pernyataannya, Azam — yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Komisi Perlindungan Hukum dan Pembelaan Hak-Hak Rakyat (Kontra’sm) serta Sekjen Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) — menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menetapkan gelar tersebut.

“Gelar pahlawan itu bukan sekadar simbol. Ada aturan yang jelas, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009. Gelar itu hanya untuk mereka yang benar-benar berjasa luar biasa, tanpa cacat sejarah,” ujar Azam dengan nada tegas.

Ia mengakui bahwa Soeharto memiliki peran besar dalam pembangunan nasional, namun menurutnya, hal itu tidak otomatis menjadikannya layak diberi gelar pahlawan.

“Pak Harto memang disebut Bapak Pembangunan, itu benar. Tapi soal pahlawan nasional? Tunggu dulu. Kita harus lihat sisi lain dari sejarahnya,” katanya.

Azam kemudian menyoroti tiga alasan besar mengapa langkah tersebut menimbulkan kontroversi publik:

Catatan Pelanggaran HAM Berat

Menurutnya, kejahatan kemanusiaan di masa Orde Baru adalah fakta sejarah yang tak bisa dihapus begitu saja. “Banyak korban yang belum mendapatkan keadilan hingga hari ini,” ujarnya.

KKN dan Oligarki Ekonomi

Ia menilai era Soeharto identik dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengakar dalam kekuasaan, bahkan masih meninggalkan jejak panjang dalam ekonomi bangsa.

Pembungkaman Demokrasi

“Orang yang mengkritik dianggap subversif, ditangkap tanpa proses yang adil. Ini luka yang belum sembuh,” tegas Azam.

Lebih jauh, Azam menyerukan agar pemerintah membuka ruang publik untuk mengkaji wacana tersebut secara terbuka dan partisipatif.

“Ayo, kita buka ruang publik. Bukan ruang sempit kekuasaan. Gelar pahlawan bukan milik keluarga, bukan milik partai. Tapi milik bangsa,” tegasnya.

Ia juga mempertanyakan konsistensi moral negara dalam menegakkan keadilan sejarah.

“Kalau pelanggaran HAM, korupsi, dan penindasan demokrasi bukan dianggap cacat serius, lalu apa yang disebut cacat sejarah?” tanyanya.

Azam menutup pernyataannya dengan pesan moral yang kuat:

“Membangun bangsa bukan tiket untuk menghapus kesalahan. Kalau gelar ini dipaksakan, maka yang dilukai bukan hanya sejarah, tapi nurani bangsa sendiri.”

Posting Komentar

Posting Komentar