![]() |
@rofiq / minggu /19/10/2025 |
Cobalah kita buka mata:
Dana reses anggota DPR kini melambung jadi Rp702 juta per kepala. Katanya untuk “penambahan titik dan peningkatan kegiatan penyerapan aspirasi”.
Tapi, tidakkah terasa aneh — aspirasi siapa yang diserap kalau telinga mereka lebih sibuk mendengar bunyi amplop dan aroma fasilitas?
Mereka menyebutnya “biaya operasional”, tapi rakyat menyebutnya “luka tambahan”.
Sadarkah kita bahwa di balik angka-angka fantastis itu, ada ibu-ibu pasar yang masih menghitung harga cabai satu-per-satu sebelum menawar?
Ada sopir truk yang menambal ban bekas karena gajinya tak cukup buat beli baru? Ada petani yang menatap sawahnya sendiri dengan cemas karena pupuk kian mahal?
Sementara di gedung yang berpendingin ruangan itu, ada tangan-tangan yang ringan menandatangani kenaikan dana reses tanpa sedikit pun rasa canggung.
Dan lucunya, setiap kali publik mempertanyakan, mereka menjawab dengan wajah datar: “Itu sudah sesuai aturan.” Ah, betapa sering aturan menjadi jubah bagi keserakahan yang sah.
Apakah mereka lupa bahwa uang yang mereka pakai bukan turun dari langit, tapi hasil keringat rakyat yang membayar pajak — bahkan dari sebatang rokok dan segelas kopi?
Apakah demokrasi memang harus semahal ini biayanya, sementara yang didapat rakyat hanya janji dan drama?
Lucu sekali: ketika rakyat menagih tanggung jawab, mereka bilang, “Kami sedang bekerja.” Tapi ketika rakyat lapar, mereka bilang, “Bersabarlah, pembangunan butuh waktu.”
Sampai kapan kita disuruh sabar, sementara sabar kita sudah lama habis dikorupsi?Lihatlah — mereka yang katanya wakil rakyat, justru semakin hari makin lihai menutupi wajah di balik jargon “serap aspirasi.”
Yang diserap bukan lagi suara rakyat, tapi anggaran negara. Dan anehnya, rakyat masih diam. Mungkin karena sudah terlalu sering dikecewakan, hingga kemarahan pun berubah jadi kebiasaan.
Kalau begini terus, mungkin kita harus sepakat bahwa tahun politik bukan lagi tahun demokrasi — tapi tahun kemunafikan yang disubsidi.
Posting Komentar