no fucking license
Bookmark

Kereta Cepat, Hutang yang Juga Melaju Cepat

@rofiq /Sabtu/18/10/2025
Saya tidak sedang menyoroti kecepatan Whoosh yang melesat dari Jakarta ke Bandung. Saya tidak sedang memuji kecanggihan teknologinya, atau bangga dengan “proyek kebanggaan bangsa” yang katanya menandai kemajuan Indonesia. Saya tidak sedang iri dengan foto-foto para pejabat yang berpose gagah di atas rel baru itu, sambil tersenyum seolah masa depan telah tiba.

Tapi, saya sedang bertanya — siapa yang sebenarnya sedang dibawa oleh kereta cepat itu?

Rakyatkah? Atau justru beban mereka yang semakin berat oleh tumpukan utang negara?

Sebab, saya tahu, di negara-negara yang keretanya melesat 300 kilometer per jam, rakyatnya pun melesat tiga kali lebih makmur dari rakyat negeri ini. Tapi di sini?

Gajinya tak sampai separuh, tapi ditagih membayar utang megaproyek yang bahkan tiketnya pun tak sanggup mereka beli.

Beginilah kalau ambisi lebih cepat dari nalar. Kalau nafsu lebih kencang dari tanggung jawab.

Pikirannya pendek — ingin cepat, tapi yang dipacu bukan pembangunan, melainkan utang.

Yang menanggung?

Bukan para pengambil keputusan yang duduk di kursi empuk kekuasaan, melainkan rakyat kecil — tukang sayur di pasar, sopir truk di jalan, petani di sawah, dan buruh yang tiap bulan gajinya tak cukup untuk beli beras sekarung.

Pertanyaan besarnya, siapa sesungguhnya yang diuntungkan oleh proyek ini?

Apakah rakyat, ataukah segelintir pemegang saham yang menguangkan mimpi bangsa dengan bunga pinjaman dari negeri jauh?

Dan kalau benar ini proyek kebanggaan, kenapa rasa bangga itu tak sampai ke perut rakyat?

Kenapa justru yang cepat bukan kemajuan, tapi tagihan dan utangnya?

Saya ingin berkata, ide boleh megah, tapi tanggung jawab harus lebih megah.

Negara ini bukan laboratorium ambisi. Ia rumah besar di mana rakyat berhak atas kesejahteraan, bukan atas sisa-sisa proyek mercusuar yang hanya indah di televisi.

Kalau mau cepat, cepatlah dalam menyejahterakan rakyat.

Kalau mau hebat, hebatlah dalam mengurangi utang.

Dan kalau mau disebut pemimpin — bukan sekadar pemburu prestise — maka jadilah orang yang berani membayar sendiri konsekuensi idenya.

Sebab, di balik suara gesekan rel kereta cepat itu, ada suara lirih ibu-ibu yang sedang menghitung uang belanja.

Dan di antara deru mesin modern itu, terselip desah panjang rakyat kecil yang bertanya:

“Cepat ke mana, kalau kami tetap tertinggal?”

Posting Komentar

Posting Komentar