![]() |
Profesor. Otto Hasibuan, SH [Wamenko ]: Kritik Harus Lewat Dewan Kehormatan. Advokat, Azam Khan: "Publik Butuh Fakta Cepat, Bukan Basa-basi" |
Puncaknya, ketika Firdaous, seorang advokat muda, tiba-tiba naik ke meja pengacara dalam persidangan. Aksi ini memicu kritik tajam, termasuk dari Otto Hasibuan, Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Namun, kritik Otto justru mendapat respons menohok dari Azam Khan, advokat senior yang dikenal vokal dalam berbagai isu hukum.
Lantas, siapa yang sebenarnya berada di jalur yang benar?
Advokat Naik Meja, Etik Dilanggar, Hukum Terancam
Dalam dunia hukum, ruang sidang adalah tempat tertib dan terhormat. Tindakan advokat yang naik ke meja? Jelas mencoreng profesi.
Azam Khan tak ragu menyebut tindakan Firdaous sebagai pelanggaran kode etik.
"Dari sisi advokat, ini bisa dilaporkan. Tapi karena sudah viral, tanpa laporan pun organisasi advokatnya bisa langsung memanggilnya," tegasnya kepada Globe Nasional, 9 Februari 2025.
Lebih dari sekadar etika, Azam mengingatkan ada konsekuensi hukum:
- Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 dan 6 Tahun 2020 mengatur tata tertib persidangan.
- Pasal 217 KUHP menyatakan bahwa siapa pun yang membuat gaduh di persidangan dapat dipidana hingga tiga minggu penjara.
"Ini bukan sekadar soal etika, tapi juga ada dasar hukumnya," tambah Azam.
Otto Hasibuan: Kritik Harus Lewat Dewan Kehormatan
Di sisi lain, Otto Hasibuan menyoroti hal lain. Ia menegaskan bahwa advokat tidak seharusnya langsung mengkritik sesama rekan di media, melainkan melapor dulu ke Dewan Kehormatan organisasi advokat masing-masing.
"Seorang pengacara tidak diperbolehkan bersikap demikian di sidang, dan kritik harus melewati jalur yang benar," ujar Otto, dikutip dari Tribunnews.
Namun, pernyataan Otto ini justru mendapat respons keras dari Azam Khan.
Azam Khan: "Publik Butuh Fakta Cepat, Bukan Basa-basi"
Azam menolak gagasan Otto yang mewajibkan advokat melapor ke Dewan Kehormatan sebelum berbicara ke media.
"Kalau harus menunggu Dewan Kehormatan, butuh waktu berapa lama? Sebulan? Dua bulan? Sampai masyarakat tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?" kritiknya.
Menurut Azam, tidak ada aturan yang melarang advokat berbicara ke media, selama yang disampaikan adalah fakta.
"Kalau advokat tidak boleh bicara ke media, lalu bagaimana masyarakat bisa tahu kebenaran? Itu justru membungkam transparansi hukum," tegasnya.
Lebih lanjut, Azam mengingatkan bahwa Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 menjamin hak media untuk memberitakan secara seimbang.
"Media diberi hak untuk mengungkapkan kebenaran kepada publik. Kalau ada orang yang merasa dizalimi, berbicara melalui media itu sah-sah saja," katanya.
Sindiran Azam: "Otto Sudah ASN, Biarkan Advokat Berpendapat"
Azam juga tak lupa menyentil posisi Otto Hasibuan, yang kini menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo Subianto.
"Sekarang Prof. Otto sudah jadi ASN di pemerintahan. Tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan advokat yang masih aktif," sindirnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa selain Dewan Kehormatan advokat, Mahkamah Agung (MA) juga memiliki wewenang mencabut Berita Acara Sumpah (BAS) advokat yang melanggar aturan.
"Jadi ini bukan hanya soal kode etik advokat. Kalau ada pelanggaran serius, MA pun bisa bertindak lebih jauh," pungkasnya.
Kasus ini membuka perdebatan lebih luas: sejauh mana advokat boleh bersuara di ruang publik? Apakah kode etik harus menjadi pagar, atau justru belenggu bagi kebebasan berbicara?
Jawabannya, kini ada di tangan para penegak hukum dan masyarakat. [*]
Posting Komentar