no fucking license
Bookmark

Di Jagat Pendidikan, ‘Pungutan’ Dikemas Jadi Bantuan








Ketradisian di dunia pendidikan itu adalah ketika menjelang tahun ajaran baru tiba, utamanya di jenjang SMP dan SMA, bisa dipastikan sepasti - pastinya bahwa pihak persekolahan itu tiba - tiba menjadi sangat kreatif menciptakan ‘kesepakatan’ sedikitnya tiga pihak akan dikoordinir.


Tiga pihak itu adalah komite, wali siswa dan lembaga sekolah yang intinya diajak ‘kumpul - kumpul’ bersama kemudian berakhir dengan kesepakatan bulat yang di dalamnya jangan sampai ada dusta di antara kita. 


Kenapa peristiwa itu disebut sebagai peristiwa klasik dan klise atau sering terulang - ulang? Pasalnya, ketika tiga pihak itu kumpul bareng - bareng pasti tema utamanya adalah memperbincangkan soal anggaran sekaligus modus penggalian dananya. 


Jelasnya, penggalian dana tersebut sasaran yang ‘digali’ adalah pihak wali siswa untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan fisik di lembaga sekolah itu. Misalnya, pembangunan ruang kelas baru, pavingisasi dan juga sejumlah ‘proyek’ fisik lainnya.


Sekali lagi, penggalangan dana itu adalah soal klasik yang terjadi pada setiap tahun ajaran baru di jagat persekolahan di negeri nusantara raya ini. 


Tapi di sisi lain, pihak wali siswa yang menjadi ‘obyek penggalian’ dana itu sesungguhnya hati mereka ‘nggerundel’ di belakang layar, di belakang kesepakatan yang terpaksa wajib disepakati oleh para wali siswa. 


Bukankah di jagat persekolahan itu ketika membangun pembangunan fisik sudah ‘terkubur’ anggaran dari pihak atas sana? Kenapa mesti pihak komite sekolah masih meminta - minta pihak wali siswa dengan cara digiring - giring diajak kumpul - kumpul kemudian ‘dipaksa’ untuk ikut berpartisipasi dengan modus bantuan yang besarannya ‘dibandrol’ sekian ratus ribu per kepala siswa yang ada? 


Kenapa pihak sekolah dalam membangun fisik apa pun ketika anggaran dananya kurang harus ‘njaluk’ wali siswa untuk melengkapi kekurangannya? 


Jujur, para wali siswa yang putra - putri mereka sedang belajar di sekolah itu tidak paham apa itu komite, apa itu regulasi, apa itu peraturan menteri, bahkan sangat awam jika harus memahami banyak hal di dunia persekolahan.


Sesungguhnya, para wali siswa itu ‘ngertinya’ hanya satu, yakni bagaimana putra - putri mereka bisa menuntut ilmu di sekolah itu.


Tahukah bahwa banyak wali siswa yang merasa terbebani oleh pihak komite yang telah ‘membandrol’ dana ratusan ribu rupiah demi sejumlah  ‘proyek’ di sekolah itu? 


Bukankah arti bantuan itu sama dengan memberi dengan cara suka rela? Kenapa pihak sekolah dalam konteks pemggalian dana tersebut ‘memaksakan kehendak’ dengan cara pasang tarif ratusan ribu rupiah per kepala siswa? 


Sekali lagi, para wali siswa itu sesungguhnya sangat awam dan bahkan sangat ‘dungu’ untuk bisa memahami kompleksitas regulasi birokrasi di dunia pendidikan di negeri ini. 


Kenapa pihak sekolah pada setiap tahun ajaran baru selalu menjadikan pihak wali siswa sebagai anjungan tunai mandiri ( ATM ) demi pembangunan fisik di lingkungan sekolah itu? 


Benarkah pihak sekolah lewat tangan - tangan dingin komite tersebut dalam menggali dana yang menyasar para wali siswa itu  modusnya berkedok bantuan tetapi sesungguhnya iuran yang ‘dipaksakan’ dan sekaligus dikemas rapi menjadi bantuan suka rela?


Akhirnya, selamat menempuh ilmu buat para siswa - siswi di negeri ini.


Roy Enhaer

Kamis, 13 Januari 2022

Posting Komentar

Posting Komentar