MEDIAGLOBENASIONAL.COM - Masih ingatkah dalam ingatan kita bahwa beberapa waktu lalu terjadi penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 oleh Presiden Joko Widodo tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN)? Kebijakan ini seolah memberikan napas baru bagi investor dengan hak pengelolaan tanah hingga 190 tahun. Pertanyaannya, mengapa kebijakan ini tampak begitu menguntungkan para investor sementara rakyat yang harus menanggung bebannya?
Keputusan untuk memberikan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) dengan durasi yang begitu panjang, hingga hampir dua abad, jelas merupakan kebijakan yang sangat merugikan rakyat. Tanah yang seharusnya menjadi milik rakyat, kini dikuasai oleh segelintir pihak dengan modal besar. Rakyat, yang seharusnya menjadi prioritas utama, justru hanya menjadi penonton dalam pembangunan yang diklaim untuk kemajuan bangsa.
Apakah ada yang memikirkan dampak dari keputusan ini terhadap rakyat kecil? Pembangunan infrastruktur memang penting, tetapi kebijakan yang memberikan hak pengelolaan tanah dengan durasi begitu panjang tidak sepadan dengan beban yang harus ditanggung rakyat. Beban pajak yang terus meningkat seiring dengan pembangunan besar-besaran ini pada akhirnya akan menghancurkan perekonomian rakyat kecil. Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini, kebijakan ini tampak seperti langkah tergesa-gesa yang hanya menguntungkan pihak-pihak berduit dibandingkan masyarakat luas.
Jika kita melihat kebijakan ini dari sudut pandang hukum, ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Pertama, pemberian HGU dan HGB dengan durasi yang sangat panjang, hingga hampir dua abad, menimbulkan pertanyaan serius mengenai keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya negara. Dalam prinsip hukum agraria, tanah adalah sumber daya yang harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, kebijakan ini tampak lebih berpihak kepada investor ketimbang rakyat.
Kedua, ada potensi pelanggaran terhadap asas pemerataan dan keadilan sosial. Kebijakan ini berpotensi menciptakan ketimpangan sosial yang semakin tajam, dimana hanya segelintir pihak yang diuntungkan sementara mayoritas rakyat harus menanggung beban finansial dan sosialnya. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara hukum yang mengedepankan keadilan bagi seluruh rakyat.
Seberapa besar dampak negatif dan kerugian yang akan dialami rakyat akibat kebijakan ini? Biaya pembangunan IKN yang sudah mencapai 500 triliun rupiah dan menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 90 triliun rupiah merupakan beban finansial yang luar biasa berat. Langkah ini mungkin terlihat strategis di atas kertas, namun apa gunanya pembangunan tanpa memperhatikan kondisi rakyat yang semakin terjepit? Kebijakan ini hanya menambah daftar panjang beban yang harus dipikul oleh rakyat.
Tulisan ini tidak sedang menghukumi dan apalagi menghakimi atas kebijakan tersebut, tetapi sekadar meneropong dan memotretnya dari sudut pandang hukum. Apakah kebijakan ini benar-benar menguntungkan atau justru menambah beban hidup rakyat?
Sekali lagi, tulisan ini juga tidak sedang mengecam, mencela, atau mengkritik secara berlebihan atas kebijakan tersebut, tetapi lebih mengajak kita semua untuk merenung dan menjadikannya cermin untuk berendah hati. Sebagai bangsa yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan bersama, keputusan seperti ini perlu dipikirkan ulang dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi seluruh lapisan masyarakat.
Akhirnya, kita sebagai manusia hanya bisa berserah diri kepada zat Yang Maha Tinggi atas lika-liku lakon hidup kehidupan manusia yang bisa saja 'menimpa' diri dan di lingkaran keluarga kita sendiri.
---
Opini ini disampaikan oleh Azam Khan, seorang advokat yang prihatin terhadap dampak kebijakan tersebut pada rakyat kecil.
Posting Komentar