Opini -Di tanah ini, perjuangan pernah menjadi nyawa. Setiap tarikan napas para pahlawan seakan melahirkan satu helai kemerdekaan, yang kini hanya tersisa dalam bayang-bayang seremonial. Agustus datang lagi, dengan segala gegap gempita lomba dan perayaan. Tetapi, apakah kemerdekaan yang sesungguhnya masih hidup di antara kita? Atau hanya tinggal cerita usang yang semakin hari semakin kehilangan makna?
Dulu, pahlawan-pahlawan itu bertaruh nyawa. Sekarang, apa yang kita lakukan? Sekadar memperingati, sekadar memberi hormat pada bendera yang berkibar, tanpa benar-benar menghargai pengorbanan mereka. Seakan, bendera itu hanya sehelai kain, tanpa beban sejarah. Setiap kali kita berdiri di bawah kibaran itu, adakah sedikit saja rasa hormat yang tersisa? Ataukah, hanya rutinitas kosong yang kita jalani, tanpa nyawa, tanpa jiwa?
Pemimpin negeri ini, ah, mereka yang dulu berdiri di mimbar-mimbar, memohon suara rakyat dengan merendah, kini menjelma menjadi penguasa yang pongah. Ketika kuasa telah mereka genggam, rakyat hanya jadi alat, jadi tumbal kekuasaan. Mereka lupa, bahwa kursi yang mereka duduki itu bukan warisan keluarga, bukan hak milik pribadi. Lupa, bahwa setiap keputusan yang mereka buat, harusnya berpihak pada rakyat, bukan pada diri sendiri atau keluarga.
Korupsi, nepotisme, kolusi—tiga serangkai yang merusak tatanan. Penguasa kini hanya peduli pada lingkaran kecilnya, pada keluarga, pada kelompok. Rakyat hanya jadi angka, jadi statistik yang bisa diabaikan. Apakah ini yang disebut kemerdekaan? Ataukah kita hanya mengganti penjajah asing dengan penjajah dari dalam? Penjajah yang berbaju penguasa, yang berbicara manis saat butuh, tapi menendang kita ketika tak lagi berguna.
Menulis tentang ini, rasanya seperti memungut puing-puing dari bangunan yang sudah hancur. Negeri ini, dengan segala potensinya, telah terkoyak oleh keserakahan. Setiap hari, kita menyaksikan bagaimana kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan bersama. Bagaimana suara rakyat tenggelam di balik gemerlap kekuasaan. Dan di sini kita berdiri, mencoba mencari secercah harapan di tengah reruntuhan.
Jika para pahlawan itu bisa melihat apa yang terjadi sekarang, mungkin mereka akan menyesali perjuangan mereka. Karena negeri yang mereka impikan, yang mereka perjuangkan dengan darah dan nyawa, telah menjadi sesuatu yang jauh dari apa yang mereka bayangkan. Mereka berjuang untuk kemerdekaan, tapi yang kita dapatkan hanyalah kebebasan semu, kebebasan yang dirantai oleh keserakahan dan ketidakpedulian.
Agustus 2024 ini, kita kembali memperingati kemerdekaan. Tapi, apakah kita benar-benar merdeka? Atau kita hanya merayakan ilusi, sebuah bayang-bayang dari masa lalu yang telah lama hilang? Sementara itu, mereka yang berkuasa terus menjajah kita dengan cara yang lebih halus, lebih licik. Dan kita, rakyat, hanya bisa melihat, tanpa daya, tanpa suara.
penulis :@rofiq
Posting Komentar