UNEG UNEG : @ROFIQ
OPINI - Saya tidak sedang membahas soal pelantikan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, yang dijadwalkan berlangsung di Gedung DPR/MPR, Jakarta, pada 20 Oktober 2024. Saya juga tidak sedang mempersoalkan bagaimana ia, seorang putra sulung dari mantan Presiden Jokowi, tiba-tiba menduduki kursi Wakil Presiden di usia yang terbilang muda. Dan, saya tidak sedang mempertanyakan mengapa begitu banyak staf khusus yang akan ditugaskan untuk mendampinginya dalam menjalankan tugas negara.
Namun, ada satu pertanyaan yang perlu kita renungkan: apakah ini adalah wajah kepemimpinan yang kita harapkan di negeri yang begitu luas dan penuh tantangan? Indonesia, dengan segala kompleksitas dan keragamannya, membutuhkan pemimpin yang bukan hanya bertumpu pada popularitas nama keluarga, tetapi yang benar-benar memahami denyut nadi rakyat. Gibran, yang baru saja menapaki jalur politik sebagai Wakil Wali Kota Solo, kini langsung melompat ke panggung nasional. Apakah ia siap menghadapi tantangan besar ini?
Kita tentu memahami bahwa kepemimpinan tidak datang begitu saja. Ia memerlukan pengalaman, kedewasaan, dan pemahaman yang mendalam tentang apa yang dibutuhkan rakyat. Tapi, bagaimana jika semua itu tertutupi oleh staf ahli yang ditugaskan untuk mengisi kekurangan seorang pemimpin? Apakah ini berarti kita mengizinkan seseorang menjalankan tugas negara dengan bantuan orang lain, hanya karena ia kebetulan memiliki akses ke lingkaran kekuasaan?
Sebagai bangsa yang menghargai kerja keras dan kejujuran, kita tentu berharap bahwa pemimpin kita benar-benar memiliki kapasitas untuk memikul tanggung jawab besar. Bukan sekadar nama besar atau hubungan kekeluargaan yang mendekatkannya ke tampuk kekuasaan. Dan ketika negara menyediakan staf ahli untuk membantu seorang wakil presiden yang belum berpengalaman, bukankah itu menunjukkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan yang harusnya menjadi perhatian kita bersama?
Negara ini terlalu besar, terlalu beragam, untuk dipimpin oleh seseorang yang masih harus bergantung pada orang lain dalam menjalankan tugasnya. Rakyat Indonesia berhak atas kepemimpinan yang kuat, mandiri, dan berkomitmen penuh terhadap kemajuan bangsa. Bukan sekadar boneka yang dipoles dengan dukungan staf ahli. Gibran, dengan segala potensinya, kini harus membuktikan bahwa ia bukan hanya nama di balik bayang-bayang ayahnya. Tapi, apakah ia bisa melakukannya tanpa topangan staf ahli?
Pada akhirnya, rakyat Indonesia butuh pemimpin yang nyata, yang berdiri di garis depan, bukan di belakang layar. Pertanyaannya, apakah Gibran bisa menjadi sosok pemimpin yang demikian? Atau, apakah ia hanya akan menjadi simbol kekuasaan keluarga yang terus berlanjut? Waktu yang akan menjawabnya, tapi hingga saat itu tiba, kita layak untuk terus bertanya.






Posting Komentar