GLOBE NASIONAL - Jawa Timur – Kasus sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas laut seluas 656 hektar di Sidoarjo ternyata bukanlah satu-satunya polemik terkait sertifikasi lahan laut. Di Kabupaten Sumenep, Madura, perairan seluas 20 hektar di Dusun Tapak Kerbau, Desa Gresik Putih, Kecamatan Gapura, diketahui telah bersertifikat hak milik atas nama perseorangan.
Kabar ini memicu gelombang protes dari masyarakat setempat. Pasalnya, area yang telah menjadi lokasi warga mencari dan menangkap ikan selama puluhan tahun itu direncanakan akan direklamasi untuk dijadikan tambak garam. Langkah ini dinilai dapat memutus mata pencarian nelayan tradisional yang bergantung pada perairan tersebut.
"Kami menolak keras keberadaan sertifikat ini. Laut adalah sumber penghidupan kami, bukan untuk dimiliki secara pribadi," ujar seorang tokoh masyarakat Desa Gresik Putih dalam sebuah wawancara.
Warga bahkan sempat melakukan aksi protes dengan menghadang alat berat yang hendak memulai pekerjaan reklamasi. Aksi ini menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap privatisasi laut yang dinilai melanggar asas keadilan.
Dari Sidoarjo ke Sumenep: Polemik yang Serupa
Kasus di Sumenep ini menambah daftar panjang kontroversi terkait sertifikat di atas lahan laut. Sebelumnya, publik dikejutkan oleh keberadaan HGB seluas 656 hektar di Sidoarjo yang diterbitkan sejak 1996. Di Tangerang, kasus serupa juga muncul dengan keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 km².
Peraturan daerah dan gubernur yang mengatur tata ruang laut di Jawa Timur sebenarnya telah menegaskan bahwa area perairan, khususnya di Sidoarjo, termasuk zona perikanan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya praktik sertifikasi yang bertentangan dengan regulasi tersebut.
Reklamasi dan Ancaman Mata Pencaharian
Di Sumenep, rencana reklamasi untuk tambak garam menjadi perhatian khusus. Selain memutus mata pencarian nelayan, reklamasi ini berpotensi merusak ekosistem laut. Warga berharap agar Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengkaji ulang legalitas sertifikat tersebut.
"Kami meminta pemerintah segera turun tangan dan membatalkan sertifikat hak milik atas laut ini. Jika tidak, kehidupan kami sebagai nelayan akan hancur," tegas seorang warga yang ikut dalam aksi protes.
Sorotan terhadap Kebijakan Tata Ruang
Polemik ini mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap tata ruang wilayah, terutama dalam pengelolaan laut. Sertifikasi hak atas laut, baik berupa HGB maupun hak milik, menjadi preseden buruk yang merugikan masyarakat pesisir.
Publik menanti langkah tegas dari pemerintah pusat, khususnya ATR/BPN, untuk menuntaskan berbagai kasus ini. Apakah reklamasi tetap dilakukan atau hak masyarakat pesisir dikembalikan, keputusan pemerintah akan menjadi cerminan keadilan bagi rakyat kecil.
Baik di Sidoarjo maupun Sumenep, masyarakat berharap pemerintah mendengar keluhan mereka. Laut bukan sekadar ruang kosong, melainkan sumber kehidupan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi dan ekonomi lokal.
Kasus ini menjadi pengingat bagi pemerintah untuk memperketat regulasi sertifikasi tanah dan memastikan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Tanpa itu, konflik antara kepentingan ekonomi dan keberlangsungan hidup masyarakat akan terus terulang.
Posting Komentar