Ketegangan ini bermula pada Sabtu (22/2/2025), saat seorang anggota Yonif 614/RJP dikabarkan menjadi korban pengeroyokan oleh sejumlah anggota Polres Tarakan. Mediasi sempat dilakukan, dan polisi yang terlibat berjanji memberikan kompensasi Rp 10 juta untuk biaya pengobatan korban. Namun, janji itu tak kunjung dipenuhi, memicu kemarahan di kalangan anggota TNI.
Senin malam, situasi memanas. Sekitar 20 anggota Yonif 614/RJP mendatangi Mako Polres Tarakan dengan maksud mencari lima anggota polisi yang diduga terlibat dalam pengeroyokan. Namun, emosi tak terbendung. Batu melayang, kaca pos jaga pecah, pintu kantor rusak.
Pangdam VI/Mulawarman Mayjen TNI Rudy Rachmat Nugraha langsung angkat bicara. Dalam keterangannya pada Rabu (26/2/2025), ia menyebut aksi ini sebagai bentuk spontanitas akibat ketidakpuasan atas penanganan kasus sebelumnya. "Dalam aksi tersebut terjadi pelemparan batu yang mengakibatkan kerusakan pada kaca dan pintu Pos Jaga serta beberapa kaca Mapolres Tarakan," ungkapnya, dikutip dari TribunKaltara.com.
Untuk meredam eskalasi, Kapolda Kaltara Irjen Pol Hary Sudwijanto bersama Pangdam VI/Mulawarman serta jajaran Forkopimda menggelar pertemuan. Mereka berkomitmen menyelesaikan masalah ini secara profesional dan berkeadilan guna menjaga hubungan antara TNI dan Polri di Kalimantan Utara.
Bentrok antar-aparat penegak hukum seperti ini bukan sekadar persoalan individu. Apa yang salah dalam koordinasi dan komunikasi internal antara TNI dan Polri? Kenapa mediasi tidak berjalan efektif sehingga memicu aksi nekat?
Peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi sinergi dua institusi keamanan negara. Jika tak segera diselesaikan dengan bijak, bukan tak mungkin kasus serupa terulang—dan itu berpotensi mengganggu stabilitas keamanan di daerah perbatasan strategis seperti Tarakan.
Posting Komentar