Dari awal, film ini dicaci-maki, dihajar kiri kanan, dicap sebagai propaganda yang merusak kewarasan demokrasi kita. Tapi siapa sangka? Justru di ulang tahun Gerindra, semua yang dulu dibilang fitnah malah diakui sendiri oleh lakon utamanya. Prabowo, yang dulu dielu-elukan sebagai pemimpin tanpa beban, sekarang terang-terangan mengaku: "Saya bisa sampai di sini karena dukungan Pak Jokowi."
Lho, katanya nggak ada cawe-cawe? Katanya netral? Katanya nggak ada operasi politik licik? Sekarang bagaimana? Fakta-fakta yang dulu dibantah mati-matian, sekarang dihamparkan sendiri di atas panggung.
Tapi beginilah Indonesia. Negeri di mana kebenaran bisa berubah tergantung siapa yang bicara. Negeri di mana hukum bisa lentur, bisa dipelintir, bisa diubah sesuai kepentingan. Negeri di mana skandal politik bukanlah aib, melainkan sekadar bagian dari strategi.
Dulu, saat Dirty Vote muncul, mereka ribut menuduh film ini penuh kebohongan. Sekarang, mereka pura-pura lupa kalau mulut mereka sendiri yang membenarkan semuanya. Mereka yang dulu teriak hoax kini malah membisu. Yang dulu nyinyir soal etika, kini sibuk berakrobat di atas hukum yang mereka sulap sendiri.
Apa yang bisa kita pelajari dari ini? Bahwa politik di negeri ini bukan soal kebenaran, bukan soal keadilan, apalagi soal demokrasi. Ini soal siapa yang paling pintar memainkan narasi. Siapa yang paling licin menyusun strategi. Siapa yang paling pandai mengendalikan amnesia massal rakyatnya.
Dan kita? Kita hanya penonton di sirkus ini. Sesekali tertawa, seringkali geram, tapi pada akhirnya hanya bisa mengelus dada. Sebab di negeri ini, kebohongan bisa menjadi kebenaran, asal disampaikan dengan suara yang cukup lantang dan dukungan yang cukup besar.
Posting Komentar