no fucking license
Bookmark

Seret Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Azam Khan Bongkar Ketimpangan Hukum: Negeri yang Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah

 

Advokat Azam Khan Saat Mengisi FGD Bersama Aktivis dan Jurnalis di Sumenep.
GLOBE NASIONAL - JAKARTA -Dalam sebuah diskusi panas yang mengguncang Sumenep, advokat senior Azam Khan menelanjangi borok sistem hukum Indonesia yang menurutnya sudah terkapar dalam kubangan ketidakadilan. Dari dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi hingga hukuman ringan bagi mega-koruptor tambang nikel, Azam tak ragu menuding hukum di negeri ini sudah bukan lagi pilar keadilan, melainkan alat kuasa bagi para elite yang rakus.

“Kasus ijazah palsu ini bukan sekadar isu akademik, tapi cermin dari bobroknya kredibilitas pejabat tinggi di negeri ini,” tegas Azam dalam Focus Group Discussion bertajuk Indonesia Gelap Tanpa Ijazah, Tanpa Kepastian Hukum dan Ekonomi, Rabu (26/03/2025).

Menurut Azam, keadilan di Indonesia kini berjalan pincang. Jika rakyat kecil salah ketik di KTP, urusannya bisa ribet berbulan-bulan. Tapi ketika dugaan ijazah palsu menyeret seorang presiden, semuanya tiba-tiba menjadi sunyi. “Hukum hanya tegas untuk wong cilik, tapi bertekuk lutut di hadapan penguasa,” katanya pedas.

Hukuman 6,5 Tahun untuk Koruptor Rp300 Triliun, Akal Sehat Dimana?

Tak hanya itu, Azam juga menyoroti skandal tambang nikel yang merugikan negara Rp300 triliun. Pelakunya? Hanya mendapat hukuman 6,5 tahun penjara. Sebuah ironi di negeri yang tak segan menjebloskan rakyat miskin karena mencuri sandal jepit.

“Hukum kita sudah berubah fungsi, dari penjaga keadilan menjadi pelindung kepentingan segelintir orang,” ujarnya tajam.

Azam menegaskan bahwa hukum yang ada saat ini hanya sebatas formalitas. Ketika menyangkut kepentingan elite, semua bisa diatur. Dari pengadilan hingga aturan main, semuanya bisa dibelokkan sesuai pesanan.

UU TNI: Jalan Mulus Kembalinya Dominasi Militer?

Dalam diskusi yang berlangsung di Cafe and Resto Ayam Brewok Sakera itu, Azam juga menyinggung pengesahan UU TNI yang dinilainya sebagai ancaman serius bagi demokrasi.

“Undang-undang ini membuka pintu bagi dominasi militer dalam politik. Kita sudah lepas dari Orde Baru, jangan biarkan sejarah kelam itu berulang,” tegasnya.

Bagi Azam, ini bukan sekadar regulasi, tapi strategi jangka panjang untuk membungkam suara kritis rakyat. Dengan kekuatan militer di panggung politik, rakyat tak hanya kehilangan hak bersuara, tapi juga kehilangan hak menentukan nasib sendiri.

Kepala Babi dan Bangkai Tikus: Teror atau Alarm Demokrasi?

Diskusi semakin panas saat peserta menyinggung aksi pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor media nasional Tempo. Apakah ini sekadar aksi iseng, atau ada pesan yang lebih gelap di baliknya?

Azam menanggapinya dengan santai namun tajam. “Jika kita membiarkan hukum terus dikendalikan segelintir elite, maka jangan heran jika ke depan bukan hanya bangkai tikus yang dikirim, tapi kepala demokrasi itu sendiri,” ujarnya.

Perlawanan Harus Dimulai Sekarang

Di akhir diskusi, Azam mengingatkan bahwa melawan ketidakadilan bukan sekadar tugas aktivis atau advokat, tapi kewajiban seluruh rakyat.

“Rakyat seharusnya jadi pemilik negeri ini, bukan hanya pemikul janji palsu dari penguasa,” katanya.

Dengan penuh semangat, ia menyerukan agar rakyat bangkit menuntut reformasi hukum yang sejati. “Jika kita terus diam, ketidakadilan akan jadi norma, dan kita hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri.”

Diskusi ini ditutup dengan buka puasa bersama, tapi meninggalkan bara yang belum padam—bara perlawanan terhadap ketimpangan hukum yang semakin menggila.

Rakyat tak boleh lagi tunduk. Jika hukum sudah menjadi pelayan kekuasaan, maka saatnya rakyat menegakkan keadilan dengan suara dan tindakan. Sebab di negeri ini, diam adalah tanda setuju, dan perlawanan adalah harga diri. [***]

Posting Komentar

Posting Komentar