![]() |
*Tim Redaksi, Media Globe Nasional (MGN)* |
Jejak "9 Naga" dapat ditelusuri sejak era Orde Baru. Istilah ini, yang juga dikenal sebagai 'Gang of Nine', pada masa itu membawa konotasi negatif dan menyeramkan. Berdasarkan investigasi Tempo dalam artikel "Mafia Bisnis" (2020), "9 Naga" dikaitkan dengan bisnis ilegal seperti judi, narkoba, dan penyelundupan, yang didukung oleh kekuatan besar yang membuat mereka seolah tak tersentuh.
Para pengusaha seperti Aguan, Haryadi Kumala, Iwan Cahyadi, Yorrys, Arief Cocong, Edi Porkas, Arie Sigit, Jony Kusuma, dan Tommy Winata sering kali disebut sebagai anggota "Gang of Nine". Namun, ini hanya spekulasi publik, dan beberapa di antara mereka sudah membantah keterkaitan tersebut.
Seiring waktu, istilah "9 Naga" mengalami pergeseran makna menjadi lebih netral, merujuk pada konglomerat besar yang menguasai perekonomian Indonesia sejak era Orde Baru. Sebutan ini mencerminkan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha.
Nama-nama seperti Robert Budi Hartono, Rusdi Kirana, Sofjan Wanandi, Jacob Soetoyo, James Riady, Anthony Salim, dan Dato' Sri Tahir sering muncul dalam pencarian terkait "9 Naga". Meski tidak ada bukti konkret, kekuasaan ekonomi mereka tak bisa diabaikan. Bisnis mereka mencakup sektor-sektor vital seperti perbankan, properti, dan makanan, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Tommy Winata pernah membantah keras keterkaitannya dengan "9 Naga". Dalam arsip Detik (2011), ia mengaku bingung dengan tuduhan tersebut dan merasa dirugikan oleh imajinasi yang beredar.
Narasi "9 Naga" menggambarkan dualitas pandangan masyarakat terhadap para konglomerat.
Di satu sisi, mereka dipandang sebagai pilar ekonomi yang penting. Di sisi lain, ada kecurigaan dan ketidakpastian terhadap kekuatan ekonomi yang terkonsentrasi pada segelintir orang. Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci untuk menjawab keraguan ini dan memastikan perekonomian yang adil bagi semua lapisan masyarakat.(*)
Posting Komentar