Azam Khan seorang yang berprofesi sebagai advokat, aktivis yang tak kenal kompromi, angkat bicara. Dengan nada yang tajam, ia mengecam permainan kotor ini. "Menjadi Ketua Umum Golkar bukanlah jalan pintas. Lima tahun, minimal, seseorang harus mengabdi di pusat. Harus mengerti setiap denyut nadi partai, harus menyelam ke dalam alirannya. Tetapi sekarang, kita disuguhi oleh mereka yang tak pernah berkeringat di sini, tiba-tiba ingin berkuasa," kata Khan. Betapa lancangnya, betapa naifnya!
Golkar, yang dikerumuni oleh jutaan kader, direndahkan oleh permainan politik hitam. Si kurus beracun, begitu ia disebut, dengan racun yang menetes perlahan-lahan ke setiap celah partai ini. Sebuah upaya yang serupa pernah menimpa PDIP, namun Golkar kini dihadapkan pada ancaman serupa, di balik senyum palsu dan prosedur yang dilangkahi.
"Apakah kita akan diam?" tanya Khan, suaranya menyayat di udara yang kian berat. Tidak, tidak ada ruang untuk diam. Kader Golkar harus bangkit, harus melawan ketidakadilan yang telah mencengkeram erat. Seperti yang Yusuf Kalla katakan, menjadi pemimpin bukan sekadar jabatan, tetapi panggilan yang harus dibayar dengan keringat dan pengabdian.
Namun, di balik semua ini, ada keheningan yang menakutkan. Suara-suara di sekeliling semakin bising, tetapi juga semakin sepi. Si kurus itu, dengan politik hitamnya, berjalan tanpa beban, seolah yakin bahwa semua akan tunduk pada kemauannya. Tetapi, apakah benar demikian? Apakah partai ini akan jatuh ke tangan yang tak memahami perjuangan yang telah ditenun selama puluhan tahun?
Seperti dalam dunia sastra, dimana daya cipta diuji oleh waktu dan lingkungan, Golkar kini menghadapi ujian yang sama. Akankah ia membusuk di tangan yang salah, ataukah akan tetap teguh, tak tergoyahkan oleh angin politik yang berhembus kencang? Waktulah yang akan menjawab, dan sejarah yang akan mencatat, apakah Golkar akan tetap menjadi benteng yang kokoh, atau justru runtuh karena pengkhianatan dari dalam. (*partner*)
Posting Komentar