no fucking license
Bookmark

"Lapor MZ Wapres": Trik Gibran Jadi Wakil Rakyat atau Drama Pengalih Perhatian?

GLOBE NASIONAL - OPINI - Ketika Gibran meluncurkan kanal "Lapor MZ Wapres," saya langsung merasa ini seperti gerakan dadakan ala stand-up comedy yang tidak lucu. Apa yang sebenarnya ingin dicapai? Sebuah kanal pengaduan di tengah kegagapan intelektual saat debat wapres kemarin? Bukankah kita semua masih ingat, Gibran sering terlihat seperti siswa yang belum siap ujian ketika diberi pertanyaan serius. Saat ditanya soal ekonomi, ia malah menyuruh "tanya pembantunya." Nah, kalau soal harga sembako naik atau BBM makin mahal, apakah jawabannya juga bakal "tanya pembantu saya"? Rasanya seperti kita diberi mic terbuka di sebuah ruang kosong—berteriak sekeras apapun, tak ada yang mendengar.

Kalau dipikir-pikir, apa sebenarnya fungsi kanal ini? Apakah rakyat benar-benar butuh platform tambahan untuk mengeluh, sementara masalahnya sudah jelas di depan mata? BBM naik, harga beras melambung, biaya hidup makin mencekik. Ibu-ibu di pasar sudah lebih dulu mengeluh tiap pagi—tanpa kanal khusus, tanpa aplikasi, tanpa mic. Kita butuh solusi nyata, bukan sekadar gimmick untuk menenangkan amarah sementara.

Gibran, mungkin tanpa sadar, sedang memainkan peran "penghibur politik" yang lebih mirip dengan badut sirkus ketimbang negarawan. Kanal pengaduan ini hanya sekadar trik sulap murahan yang memberikan ilusi bahwa pemerintah mendengarkan. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Biasanya cuma ada janji-janji manis ala sales mobil bekas. Seperti membeli mobil yang tampaknya bagus dari luar, tapi begitu mesin dinyalakan, eh ternyata asap hitam keluar. Kena prank, bro!

Mari kita uji logika program ini. Misal ada petani yang melapor soal harga pupuk yang melonjak atau biaya obat tanaman yang membengkak. Apakah pemerintah akan segera bertindak? Atau mungkin jawaban yang diterima malah: "Terima kasih atas laporannya, harap bersabar, ini ujian." Persis seperti iklan ojek online yang suka bilang, "Driver sedang dalam perjalanan." Padahal, kita tahu driver-nya masih ngetem di warung kopi.

Ini fenomena klasik dari politik pencitraan. Saat rakyat kesulitan, yang muncul bukan solusi konkret, tapi gimmick berupa kanal pengaduan yang tak lebih dari sekadar mainan baru. Ibarat jualan mie instan rasa rendang, tapi isinya cuma mie biasa—tanpa daging, tanpa rempah. Publik dibiarkan kenyang oleh harapan kosong.

Coba kita pikir, apakah keluhan soal harga BBM yang meroket bisa diselesaikan dengan kanal pengaduan? Ketika petani rugi karena tengkulak, apakah dengan mengeluh di "Lapor MZ Wapres" masalah mereka akan teratasi? Kenyataannya, kita hidup di tengah kebijakan yang lebih berpihak pada investor besar daripada rakyat kecil. Bahkan, ketika harga sembako meroket, pemerintah lebih sibuk menghitung berapa pajak yang bisa ditarik dari setiap transaksi pasar daripada menstabilkan harga itu sendiri. Maka jangan heran kalau lapor-melapor ini hanya akan menjadi arsip baru tanpa solusi.

Gibran tampaknya nyaman memainkan peran "maskot politik," tampil seolah-olah melayani rakyat, padahal hanya bersembunyi di balik layar. Seperti pemain drama yang lebih suka tampil di spotlight tanpa dialog yang jelas, berharap tepuk tangan meski naskahnya berantakan. Alih-alih fokus pada kebijakan yang nyata, ia lebih sibuk membangun pencitraan lewat aplikasi pengaduan, berharap rakyat lupa dengan minimnya solusi yang diberikan.

Pesan yang ingin disampaikan lewat kanal ini mungkin sederhana: "Kita mendengarkan." Tapi bagi rakyat yang sedang kerepotan bayar cicilan, yang asetnya disita bank, atau yang kebingungan cari kerja, kata-kata itu hanya seperti suara penghibur di konser gratisan—ramai tapi kosong makna. Dan ketika rakyat berteriak soal harga BBM yang tak terjangkau, pemerintah malah mengajukan kenaikan pajak. Bukan solusi, tapi malah tambah beban. 

Jadi, apakah kanal "Lapor MZ Wapres" ini solusi atau cuma ilusi? Buat saya, ini tak lebih dari panggung sirkus di tengah krisis. Yang kita butuhkan adalah kebijakan yang berbasis akal sehat dan logika, bukan sandiwara yang seolah-olah merakyat tapi sebenarnya hanya menambah daftar panjang "laporan tidak ditindaklanjuti." Jika benar-benar ingin membantu rakyat, hentikan permainan ilusi ini dan mulai bekerja dengan akal sehat. Karena negeri ini tidak butuh badut baru, tapi butuh negarawan yang berani dan berpikir rasional.

Penulis : @Rofiq

Posting Komentar

Posting Komentar