no fucking license
Bookmark

Nepotisme dan Kekosongan Visi: Gibran Sebagai Wakil Presiden, Apakah Ini Cermin Keadilan?

 

Azam Khan
Tanggal: 16 November 2024

GLOBE NASIONAL - JAKARTA -Dalam beberapa bulan terakhir, isu mengenai nepotisme yang melibatkan Gibran Rakabuming, anak Presiden Joko Widodo, terus memicu perdebatan hangat di kalangan pakar hukum, politik, dan masyarakat umum. Posisi Gibran sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia yang terpilih mendampingi Prabowo Subianto semakin menuai sorotan tajam, mengingat sejarah singkat kepemimpinan Gibran sebagai Wali Kota Solo yang hanya berlangsung selama 2,8 bulan.

Sejumlah kalangan menilai, keberadaan Gibran di kursi Wakil Presiden mencerminkan praktek nepotisme yang jelas melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Menurut Pasal 1 Angka 5, disebutkan bahwa setiap penyelenggara negara dilarang mempergunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kroni. Praktik nepotisme ini dituding terjadi karena Gibran dipilih dan dititipkan di posisi strategis tersebut oleh sang ayah, Presiden Jokowi, yang juga menjadi penggerak utama di balik pencalonan dirinya.

Azam Khan, seorang advokat dengan seratus tokoh yang telah melaporkan hal ini kepada Mabes Polri beberapa bulan yang lalu, menilai bahwa fenomena ini semakin memperlihatkan ketidakberdayaan hukum di Indonesia. “Saya sudah melaporkan kasus ini, namun sampai sekarang belum ada tindak lanjut. Yang jelas ini adalah bentuk nepotisme yang merusak integritas lembaga pemerintahan,” ujar Azam, menanggapi kebijakan yang menurutnya semakin mendekonstruksi nilai-nilai demokrasi yang harus dijunjung.

Selain itu, banyak yang mempertanyakan kapasitas dan kemampuan Gibran dalam memimpin negara. Meskipun telah diangkat sebagai Wakil Presiden, Gibran yang baru berusia 36 tahun dianggap belum memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin negara. Tanpa pengalaman yang cukup dalam pemerintahan dan tanpa visi yang jelas, posisi ini dianggap lebih sebagai sebuah pencitraan keluarga Presiden ketimbang pengangkatan seorang pemimpin yang mumpuni.

Gibran yang selama ini dikenal sebagai Wali Kota Solo tak pernah menunjukkan prestasi signifikan yang menunjukkan kapasitasnya untuk memimpin negara. Visi dan misinya pun sering kali terkesan kabur dan kurang terarah. Bahkan, meskipun sudah menjabat sebagai Wakil Presiden, ia dianggap belum memiliki kontribusi nyata terhadap kemajuan bangsa.

"Ini adalah sebuah ironi besar. Negara ini harus dipimpin oleh orang-orang yang punya pemahaman mendalam tentang kepemimpinan dan berpengalaman. Gibran hanya mendapatkan posisi ini karena ayahnya, bukan karena kemampuannya. Kita tidak boleh terus-menerus terjebak pada pencitraan," tegas Azam Khan, yang dengan tegas menyuarakan penolakannya terhadap praktek nepotisme yang jelas-jelas melanggar hukum.

Masalah ini semakin dipicu dengan kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan aturan umur minimal untuk calon presiden dan wakil presiden yang tidak kunjung diubah. PKPU yang mengatur syarat usia 40 tahun dinilai sudah tidak relevan lagi, namun hingga kini tak ada perubahan yang signifikan, meskipun Gibran sendiri masih berusia 36 tahun pada saat ia dicalonkan.

Sebagai tambahan, Gibran juga dinilai tidak menunjukkan kapasitasnya dalam memimpin. Tidak ada pernyataan atau kebijakan jelas dari dirinya yang dapat memberi arah positif bagi negara. Gibran lebih banyak terkesan mencari panggung untuk mempertahankan citra keluarga, ketimbang memperjuangkan keadilan dan kemajuan negara.

Azam Khan, yang menyoroti semakin merosotnya moral politik di Indonesia, mengungkapkan bahwa saat ini, Indonesia lebih banyak dipimpin oleh mereka yang terjebak dalam pencitraan, bukan oleh para pemimpin yang memiliki wawasan dan keahlian. "Negara ini kalah dengan Gibran, yang meskipun belum memiliki kemampuan apapun, justru diangkat menjadi Wakil Presiden. Ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima," ujarnya dengan nada kesal.

Dengan berjalannya waktu, Indonesia akan terus menilai apakah kepemimpinan Gibran akan benar-benar mampu membawa perubahan signifikan bagi bangsa ini, atau justru semakin memperburuk keadaan dengan praktek nepotisme yang jelas melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. 

Penting untuk diingat bahwa pemimpin negara seharusnya dipilih berdasarkan kapasitas, pengalaman, dan visi untuk kemajuan bangsa, bukan berdasarkan hubungan keluarga atau pencitraan semata. Sebuah refleksi mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merenung, apakah ini memang pilihan yang tepat untuk masa depan negara yang lebih baik. [*]


Posting Komentar

Posting Komentar