no fucking license
Bookmark

Sri Mulyani dan Drama Pajak 12%: Siapa yang Sebenarnya Menang?

Dalam berita terbaru, Menteri Keuangan mengumumkan bahwa tarif PPN 12% akan tetap dijalankan dan mulai berlaku pada 1 Januari 2025! 💰📅

OPINI -“Dia lagi, dia lagi.” Begitulah komentar sinis yang terus beredar di kalangan masyarakat ketika menyebut nama Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Terlihat seperti pengulangan, tapi inilah kenyataan pahit yang dialami rakyat Indonesia. Sri Mulyani, yang dianggap paling pintar dan paling benar, kembali membuat kebijakan yang bikin rakyat menjerit. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik jadi 12%, dan rakyat dipaksa menelan pil pahit itu, suka atau tidak.

Di atas kertas, tujuan dari kenaikan PPN adalah untuk menambah pendapatan negara. Tapi yang terjadi justru sebaliknya; rakyat dan pengusaha tercekik oleh kebijakan yang dinilai hanya berpihak pada kantong pemerintah. Harga-harga melonjak, biaya produksi naik, dan pada akhirnya beban ini ditanggung oleh konsumen. Para pengusaha, terutama UMKM, mau tak mau harus mengikuti aturan ini, meski daya beli masyarakat sedang melemah.

Tidak ada protes terbuka dari rakyat maupun pengusaha. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa suaranya tak akan didengar. Di hadapan kekuasaan, suara mereka seakan hanya jadi angin lalu. Pemerintah terlalu sibuk memikirkan bagaimana menambah pundi-pundi negara tanpa benar-benar memahami kondisi masyarakat yang di ambang keputusasaan.

Kepada Presiden, saatnya membuka mata dan telinga. Kebijakan Sri Mulyani yang menaikkan pajak ini membuat rakyat makin sesak napas. Apakah pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat atau hanya pada keuntungan angka semata? Jika kebijakan ini terus dibiarkan, apa yang diharapkan dari pertumbuhan ekonomi? Padahal, dengan daya beli masyarakat yang makin rendah, roda ekonomi justru bisa tersendat.

Bukan hanya dampak langsung yang dirasakan, efek domino dari kenaikan pajak ini juga memukul berbagai sektor. Harga bahan pokok naik, biaya produksi meroket, dan ongkos hidup makin mahal. Rakyat, yang sudah kalah dari awal, harus membayar dua kali lipat—membayar pajak dan menanggung kenaikan harga barang.

Kebijakan ini hanya memperlihatkan satu hal: pemerintah menang dua kali, dan rakyat kalah dua kali. Kenaikan pajak berarti pendapatan negara meningkat, tapi di sisi lain, harga barang yang tinggi menambah beban hidup rakyat. Rakyat dipaksa membeli, apa pun yang terjadi. Di saat barang makin mahal atau bahkan langka, rakyat tetap harus membayar. Pemerintah tetap untung, sementara rakyat dipaksa bertahan di tengah kesulitan.

Sri Mulyani mungkin merasa paling pintar dengan kebijakan ini. Tapi, yang terjadi di lapangan menunjukkan sebaliknya. Kebijakan yang tidak memikirkan kondisi masyarakat justru akan menjadi bumerang bagi pemerintah. Pemerintah seperti sedang berdagang dengan rakyatnya sendiri—menaikkan harga dan pajak seolah-olah rakyat ini memiliki pilihan. Padahal kenyataannya, pilihan itu tidak ada. Mereka hanya bisa patuh dan berusaha bertahan.

Bapak. Presiden, apakah Anda benar-benar mendukung kebijakan ini? Apakah Anda melihat dampak langsung dari keputusan ini pada kehidupan rakyat kecil? Saatnya meninjau kembali, sebelum terlambat. Jika terus dibiarkan, yang akan terjadi adalah ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah yang seharusnya melindungi mereka. 

Rakyat tidak meminta banyak, hanya sedikit kebijakan yang pro pada mereka, bukan pada angka di atas kertas yang terlihat bagus tapi sebenarnya menambah penderitaan. Jika kebijakan ekonomi nasional hanya mementingkan angka, maka yang akan terjadi adalah semakin banyaknya rakyat yang terpinggirkan.

Jika pemerintah terus menutup telinga terhadap suara rakyat, bukan tidak mungkin perubahan besar akan terjadi. Dan ketika itu terjadi, sejarah akan mencatat siapa yang benar-benar berpihak pada rakyat dan siapa yang hanya berpihak pada keuntungan angka semata.

Posting Komentar

Posting Komentar