"Jika tujuan kita benar-benar mencari keadilan, mengapa hanya Tom Lembong yang menjadi tersangka?" kata Azam dengan nada tajam. Berdasarkan data impor yang ia kaji, Azam mengungkapkan bahwa menteri-menteri setelah Lembong justru mencatat volume impor yang lebih tinggi. “Jika Tom dianggap bersalah, mengapa para menteri perdagangan setelahnya, yang membawa angka impor lebih besar, tidak ikut diproses? Jangan sampai publik merasa ini hanya sandiwara politik yang menyasar satu individu,” tegas Azam.
Data Kebijakan Impor: Ketidakselarasan antara Angka dan Hukum
Azam mengutip sejumlah data impor sebagai dasar kritiknya, menunjukkan volume impor selama periode beberapa menteri perdagangan berikutnya yang justru meningkat. Data yang ia kutip menyebutkan:
1. Thomas Lembong (2015 - 2016): Total impor 5 juta ton.
2. Enggartiasto Lukita (2016 - 2019): Total impor mencapai 15 juta ton.
3. Agus Suparmanto (2019 - 2020): Total impor sebesar 9,5 juta ton.
4. Muhammad Luthfi (2020 - 2022): Total impor 13 juta ton.
5. Zulkifli Hasan (2022 - 2024): Total impor tercatat 18 juta ton.
Dengan paparan angka-angka ini, Azam menekankan pentingnya keadilan kolektif dalam melihat sebuah kebijakan yang berdampak luas. “Bagaimana bisa, hanya satu orang diproses? Padahal, data menunjukkan bahwa kebijakan yang sama, bahkan lebih besar, diterapkan oleh menteri-menteri selanjutnya,” tandas Azam.
Selain masalah hukum yang menyasar Tom Lembong, Azam juga mengingatkan potensi dampak buruk terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto jika isu ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penjelasan yang gamblang. Menurutnya, masyarakat bisa menyimpulkan bahwa kasus ini adalah bentuk ketidakadilan dan mencoreng komitmen Presiden Prabowo dalam menegakkan hukum yang independen.
“Jika masalah ini terus bergulir tanpa kejelasan, publik bisa menilai bahwa hukum di negeri ini telah kehilangan integritas. Ini akan menjadi noda bagi kepemimpinan Presiden Prabowo,” ujarnya. Azam meminta agar Prabowo segera bersikap tegas dan tidak membiarkan masyarakat terus meragukan keadilan di negara ini.
Azam Khan tak hanya melemparkan kritik, tapi juga menyerukan DPR, akademisi, dan pakar hukum untuk segera mendesak Kejaksaan Agung agar mengungkapkan fakta-fakta yang mendasari penangkapan Tom Lembong. Bagi Azam, transparansi ini penting untuk mencegah persepsi publik bahwa hukum telah menjadi alat kekuasaan.
“Saya berharap DPR dan para akademisi ikut mendesak Kejaksaan Agung untuk segera memaparkan kepada publik, apakah bukti yang mereka miliki cukup sesuai Pasal 184 KUHAP. Jika bukti tidak cukup, ini jelas melanggar aturan, dan publik berhak mengetahui,” tegas Azam. Menurutnya, langkah ini bukan sekadar pembuktian hukum, melainkan juga upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum di Indonesia.
Dalam pernyataan terakhirnya, Azam menekankan pentingnya menjaga kredibilitas pemerintahan Prabowo dengan memastikan independensi hukum. “Jika penangkapan ini dilakukan tanpa bukti kuat, bukan hanya Tom Lembong yang terdampak, tetapi juga kredibilitas Presiden Prabowo,” tambah Azam.
Azam juga berpesan kepada Presiden Prabowo untuk menunjukkan ketegasan dalam menjamin proses hukum yang adil dan transparan. “Pak Prabowo, sebagai pemimpin, Anda punya tanggung jawab besar. Jangan biarkan publik meragukan integritas hukum di negeri ini,” pungkasnya.
Kasus Tom Lembong terus menyita perhatian publik. Apakah Kejaksaan Agung akan merespons desakan ini dengan transparansi yang diinginkan, atau justru memperkuat kesan adanya permainan politik? Publik kini menunggu jawaban atas polemik ini, sementara suara Azam Khan yang lantang semakin keras menggema, menuntut keadilan bagi semua pihak.
Posting Komentar