no fucking license
Bookmark

Biaya Penyakit Akibat Rokok Lebih Besar dari Pajak Iklan, Negara Rugi Besar

 

Siswa SMK Kriya Sahid dengan penuh semangat mengenakan masker dan membawa poster himbauan untuk berhenti merokok saat melaksanakan aksi Hari Anti Tembakau Sedunia di Jalan Veteran, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Kamis (30/5/2013). Aksi ini merupakan bentuk partisipasi mereka dalam kampanye untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya rokok. Foto ini diabadikan oleh ANTARA FOTO/Herka Yanis Pangaribowo/Spt/aa.
GLOBE NASIONAL - Jakarta – Beban ekonomi akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok terus membengkak, jauh melampaui penerimaan pajak dari iklan rokok di berbagai daerah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat bahwa biaya penanganan penyakit akibat rokok di beberapa daerah mencapai Rp5,4 miliar, sementara pajak iklan rokok yang diterima pemerintah daerah hanya sekitar Rp150 juta.

"Pajak dari iklan rokok daerah itu hanya sekitar Rp150 juta, sedangkan pengeluaran mereka untuk penyakit akibat rokok kurang lebih Rp5,4 miliar," ujar Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes, Benget Saragih, dalam temu media di Jakarta, Kamis (20/2).

Berdasarkan laporan dari kepala dinas kesehatan di 50 kabupaten/kota, pengeluaran rumah tangga untuk rokok mengungguli belanja untuk kebutuhan lain, termasuk makanan bergizi. Di Sumatera Barat, misalnya, pengeluaran nomor satu masyarakat adalah untuk membeli rokok, sementara pendapatan dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diterima daerah masih jauh dari cukup untuk menutupi dampak kesehatannya.

Survei Kemenkes pada 2017 mencatat bahwa penerimaan negara dari industri rokok mencapai Rp147 triliun, tetapi pengeluaran untuk menangani penyakit akibat rokok melonjak hingga Rp435 triliun. “Ada 21 penyakit yang terkait langsung dengan rokok, baik rawat jalan maupun rawat inap. Selain itu, dampak ekonomi yang lebih besar adalah hilangnya produktivitas karena perokok yang sakit tidak bisa bekerja,” kata Benget.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Regulasi ini memperketat aturan tentang rokok elektronik maupun rokok konvensional.

Salah satu langkah yang tengah diperjuangkan Kemenkes adalah peningkatan persentase peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok dari 30-40 persen menjadi 80 persen. Selain itu, pemerintah juga mendorong penerapan kemasan rokok terstandar untuk mengurangi daya tarik produk bagi konsumen, khususnya anak-anak dan remaja.

"Standardisasi kemasan bisa menurunkan daya tarik rokok, meningkatkan efektivitas kampanye antirokok, dan menekan angka perokok baru," ujar Benget.

Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa jumlah perokok di Indonesia mencapai 70,2 juta jiwa, terdiri dari 63,1 juta perokok dewasa dan 5,9 juta perokok anak usia 10-18 tahun. Dengan angka ini, Indonesia menjadi pasar rokok terbesar ketiga di dunia. Mirisnya, enam dari 10 kematian di Indonesia disebabkan oleh perilaku merokok.

Dengan biaya penyakit akibat rokok yang terus meningkat, serta jumlah perokok yang masih tinggi, pemerintah menghadapi tantangan besar untuk menekan dampak buruk rokok di Indonesia. Langkah-langkah regulasi dan kebijakan fiskal perlu diperketat agar beban ekonomi dan kesehatan akibat rokok tidak semakin memburuk.

Artikel ini menyoroti bagaimana beban ekonomi akibat rokok jauh melampaui penerimaan pajak iklan rokok. Jika ada aspek yang ingin diperjelas atau ditambahkan, beri tahu saya!

Copyright © ANTARA 2025

Posting Komentar

Posting Komentar