![]() |
Yandri Susanto, Mentri Desa |
Yandri, sosok yang vokal dalam isu ini, menegaskan sikapnya. "Kami tidak mau dana desa itu sekali pakai hilang. Jadi biar dikelola BUMDes atau lembaga ekonomi lain. Tidak diberikan orang per orang," ujarnya usai rapat lintas kementerian di Semarang, Selasa (31/12/2024).
Pernyataan itu seperti alarm. Sudah terlalu sering dana desa menguap tanpa jejak, habis untuk proyek-proyek instan yang tak meninggalkan manfaat jangka panjang. Tahun demi tahun, miliaran rupiah hanya menjelma dalam bentuk jalan rabat yang cepat retak, gedung kosong tak terpakai, atau sekadar program bantuan sosial yang habis dalam sekali telan.
BUMDes: Penyelamat atau Sekadar Nama?
BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) digadang-gadang sebagai solusi. Dengan pengelolaan yang baik, dana desa bisa berputar, menciptakan ekonomi mandiri, membuka lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan desa pada APBN.
Tapi mari jujur. Berapa banyak BUMDes yang benar-benar berjalan? Banyak yang mati suri, sekadar papan nama di kantor desa, atau lebih parah lagi—jadi celengan elite lokal. Dana desa harus berhenti menjadi "rejeki nomplok" bagi segelintir orang.
Kalau Rp 70 triliun ini hanya habis untuk program instan tanpa perencanaan matang, desa tetap miskin, pengangguran tetap tinggi, dan ketimpangan makin lebar. Ini bukan soal anggaran yang besar, tapi bagaimana desa bisa mandiri dan lepas dari pola konsumtif yang terus berulang.
Bukan Sekadar Janji, Harus Ada Aksi
Dana desa tak boleh lagi jadi hujan yang lewat begitu saja. Harus ada mekanisme ketat, audit transparan, dan dorongan agar desa benar-benar berdaya. Kalau tidak, Rp 70 triliun itu tak lebih dari sekadar angka yang hilang di pusaran birokrasi dan kepentingan sesaat.
Tahun 2025 bukan sekadar tahun anggaran baru. Ini ujian bagi desa: apakah tetap jadi penerima dana pasif, atau mulai berdiri di atas kaki sendiri? Jangan sampai dana desa hanya singgah, lalu pergi tanpa jejak.
Setuju dengan Yandri! Dana desa harus dikelola dengan bijak dan transparan, bukan cuma sekali pakai lalu hilang. Lebih baik jika dikelola oleh BUMDes atau lembaga ekonomi lainnya yang bisa memastikan manfaatnya berkelanjutan, bukan hanya sekadar dibagikan secara langsung tanpa kontrol.[ *]
Posting Komentar