![]() |
Arsip foto - Sejumlah karyawan mengobrol di depan Gedung Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) di Jakarta, Jumat (7/2/2025). BANTARA FOTO/Reno Esnir/app/YU/pri |
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, menilai kehadiran Danantara bisa menjadi terobosan dalam tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia menegaskan, selama ini banyak keputusan strategis di BUMN yang diambil tanpa alasan yang jelas.
“Selama ini, pengawasan pemerintah terhadap BUMN bersifat longgar. Dewan komisaris dan direksi sering ditunjuk tanpa evaluasi yang memadai. Jika Danantara bisa mengubah ini, maka kita berbicara tentang revolusi dalam transparansi,” ujar Eddy dalam keterangannya di Yogyakarta, Minggu (23/2), dikutip dari ANTARA.
Namun, ia mengingatkan bahwa pembentukan Danantara tidak boleh berhenti sebagai formalitas. Jika hanya menjadi "holding company" tanpa langkah nyata seperti merger dan efisiensi struktur manajemen, maka justru berisiko menjadi birokrasi berlapis yang memperlambat inovasi.
Transparansi atau Justru Moral Hazard Baru?
Presiden Prabowo Subianto pertama kali mengumumkan rencana pembentukan Danantara dalam World Governments Summit pada 14 Februari 2025, seperti dikutip dari laporan ANTARA. Dalam pidatonya, ia menyebutkan bahwa lembaga ini akan mengelola aset negara senilai lebih dari 900 miliar dolar AS, dengan dana awal sebesar 20 miliar dolar AS.
Prabowo juga menekankan bahwa pengawasan terhadap Danantara tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh mantan presiden dan pimpinan organisasi keagamaan, sebagaimana disampaikan dalam acara Partai Gerindra pada 15 Februari 2025.
"Danantara adalah kekuatan energi masa depan. Ini harus kita jaga bersama," ujar Prabowo dalam pidatonya yang dikutip dari ANTARA.
Namun, di balik ambisi besar ini, muncul pertanyaan: Apakah Danantara akan benar-benar membawa transparansi atau justru menciptakan lahan baru bagi moral hazard?
Eddy mengingatkan, jika pengawasan hanya bersifat seremonial dan masih ada celah politisasi dalam penunjukan pejabat strategis, maka Danantara bisa menjadi raksasa yang sulit dikendalikan.
"Dampak jangka pendek mungkin tidak terasa, tapi dalam jangka panjang, jika tidak dikelola dengan baik, Danantara bisa menjadi beban baru bagi keuangan negara," tutur Eddy, dikutip dari ANTARA.
Pemerintah kini dihadapkan pada pilihan: menjadikan Danantara sebagai simbol transparansi atau hanya menambah satu lagi birokrasi dalam labirin pengelolaan aset negara. Publik menunggu, apakah ini langkah maju atau hanya ilusi perubahan.
Sumber: ANTARA
Posting Komentar