no fucking license
Bookmark

Velodiva dan Regulasi Royalti: Perlindungan Hak Cipta atau Keuntungan Segelintir Pihak?

Asisten Deputi Koordinasi Pemanfaatan, Pemberdayaan, dan Pelindungan Kekayaan Intelektual Kemenko Kumham Imipas Syarifuddin (kedua dari kiri) dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (21/2/2025). (ANTARA/HO-Kemenko Kumham Imipas RI)
GLOBE Jakarta – Pemerintah kembali menyoroti pentingnya penggunaan platform musik berlisensi di area bisnis demi melindungi hak cipta. Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) menegaskan bahwa pembayaran royalti bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga bentuk apresiasi bagi musisi yang karyanya telah menghibur publik.

“Aspek perlindungan hak cipta ini membutuhkan kesadaran kolektif. Menggunakan pemutar musik yang sah dan membayar royalti dengan tepat adalah bentuk penghargaan terhadap para pencipta lagu,” ujar Asisten Deputi Koordinasi Pemanfaatan, Pemberdayaan, dan Pelindungan Kekayaan Intelektual Kemenko Kumham Imipas, Syarifuddin, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (21/2), dikutip dari Antara.

Dalam kesempatan itu, Syarifuddin turut mengapresiasi peluncuran Velodiva, platform baru yang diklaim sebagai solusi dalam tata kelola royalti musik di Indonesia.

Satu Platform, Banyak Kepentingan?

CEO Velodiva, Vedy Eriyanto, menjelaskan bahwa layanan ini bekerja sama secara resmi dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan bertujuan memberikan solusi bagi bisnis yang ingin menjalankan kewajiban royalti secara transparan.

"Velodiva berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam pengelolaan royalti dan distribusinya dengan memastikan seluruh proses berjalan adil, transparan, dan sesuai regulasi," ujar Vedy dalam kesempatan yang sama.

Namun, di balik ambisi besar itu, muncul pertanyaan: mengapa Velodiva yang mendapat sorotan utama? Apakah ini merupakan langkah menuju ekosistem musik yang lebih sehat atau justru membuka jalan bagi dominasi segelintir pihak?

Seorang musisi independen yang enggan disebutkan namanya menilai, selama ini banyak musisi yang kesulitan memperoleh royalti mereka. Ia mempertanyakan apakah kehadiran Velodiva akan menyelesaikan persoalan itu atau sekadar menambah perantara dalam rantai distribusi.

"Sistem pengelolaan royalti selalu jadi teka-teki bagi kami. Apakah Velodiva ini solusi atau hanya pemain baru yang memanfaatkan regulasi?" katanya.

Beban Tambahan bagi Pelaku Usaha

Sementara itu, bagi pelaku usaha, kebijakan ini menambah daftar panjang regulasi yang harus dipatuhi. Mereka yang selama ini memutar musik dari platform streaming seperti Spotify atau YouTube kini diwajibkan menggunakan layanan berlisensi khusus.

"Kalau harus berlangganan platform baru dengan biaya tambahan, ini memberatkan," ujar Rudi, pemilik kedai kopi di bilangan Jakarta Selatan.

Pemerintah merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, yang mengatur tata kelola dan distribusi royalti, serta mewajibkan pelaporan penggunaan aset musik oleh pengguna komersial. Namun, hingga kini, belum jelas bagaimana pengawasan dan penerapannya di lapangan.

Industri Musik Menuju Transparansi atau Semakin Rumit?

Anggota LMKN Bidang Kolektif Royalti dan Lisensi, Yessi Kurniawan, berharap sistem baru ini akan menciptakan tata kelola royalti berbasis teknologi yang lebih akurat.

"Momentum ini bisa menjadi wadah untuk menciptakan sistem royalti yang transparan dan memastikan distribusi yang cepat dan adil kepada pencipta lagu," kata Yessi.

Namun, di tengah optimisme itu, pertanyaan terbesar tetap mengemuka: benarkah ini langkah untuk melindungi hak cipta, atau ada kepentingan bisnis di baliknya?

Pemerintah boleh saja mengklaim bahwa ini adalah upaya membangun ekosistem musik yang lebih sehat, tetapi jika regulasi ini hanya menguntungkan platform tertentu dan menambah beban pelaku usaha tanpa kepastian bagi musisi, siapa sebenarnya yang diuntungkan?


Editor: r@fiq
Copyright © ANTARA 2025


Posting Komentar

Posting Komentar