![]() |
PENULIS -R@fiq |
Tapi, saya ingin menyoroti betapa korupsi ini telah menjadi jati diri kita, sesuatu yang tak lagi dianggap aib, melainkan keterampilan yang diwariskan. Dari meja-meja pemerintahan yang dipenuhi tumpukan amplop, hingga gerbang sekolah yang hanya bisa dilewati setelah "uang pendaftaran" diserahkan, dari meja hakim yang keputusannya bisa dibeli, hingga proyek infrastruktur yang roboh sebelum diresmikan—semuanya adalah bukti nyata bahwa korupsi telah menjadi budaya.
Saya ingin berbicara tentang bagaimana koruptor disambut dengan karangan bunga setelah keluar dari penjara, bagaimana mereka kembali ke panggung politik dengan mudahnya, bahkan dielu-elukan sebagai korban sistem. Saya ingin menyingkap betapa hukuman bagi mereka hanya sekadar formalitas, seperti drama yang dimainkan untuk menenangkan kemarahan rakyat sesaat, sebelum akhirnya kembali ke skenario awal: memperkaya diri tanpa batas.
Di dalam benak kita, ada kesadaran bahwa ini semua salah. Tapi di dalam praktiknya, kita tetap tunduk, tetap mengikuti arus. Kita tetap menggeleng-gelengkan kepala saat membaca berita korupsi miliaran rupiah, hanya untuk kemudian melancarkan jalan sendiri dengan menyuap petugas saat mengurus surat-surat. Kita mengutuk koruptor kelas kakap, tapi di saat yang sama, kita dengan ringan memberi "uang rokok" agar urusan lebih cepat selesai.
Kita tidak sedang menghadapi kasus korupsi biasa. Kita menghadapi sebuah ekosistem, sebuah budaya yang telah mengakar lebih dalam dari sekadar kebiasaan. Kita telah sampai pada titik di mana korupsi bukan lagi dianggap sebagai penyakit, tetapi justru sebagai cara hidup.
Jadi, kalau memang kita ingin terus begini, mari kita rayakan! Mari kita biarkan korupsi semakin menyatu dengan kehidupan kita. Mari kita lupakan keadilan, mari kita kubur mimpi tentang negara yang bersih dan bermartabat. Toh, yang penting siapa yang berkuasa tetap bisa makan enak, tidur nyenyak, dan tertawa di atas penderitaan rakyat.
Atau… masihkah ada yang ingin melawan?
Posting Komentar