GLOBE NASIONAL -Dunia politik dan bisnis di Indonesia kembali dihebohkan dengan kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Ia didakwa merugikan negara Rp 578 miliar dalam skandal impor gula kristal mentah (GKM) yang terjadi pada 2015-2016. Namun, di balik angka fantastis itu, ada banyak pertanyaan yang menggantung di udara.
Dakwaan yang Kabur, Reformis yang Dikorbankan?
Sejak awal, kasus ini terasa janggal. Bagaimana mungkin seorang menteri yang dikenal sebagai reformis dan ekonom bersih, tiba-tiba menjadi terdakwa korupsi? Apalagi, dalam sidang perdananya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025), Tom Lembong terang-terangan menyatakan kekecewaannya terhadap jaksa yang tidak bisa menunjukkan lampiran perhitungan jelas terkait kerugian negara.
"Saya kecewa atas dakwaan yang disampaikan. Tidak ada lampiran yang menguraikan dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar," tegasnya.
Ini bukan sekadar ekspresi frustrasi seorang terdakwa, tapi juga tamparan bagi transparansi hukum di Indonesia. Jika benar ada kerugian negara, mengapa tidak ada hitungan rinci? Apakah ini murni kasus hukum, atau ada tangan-tangan politik yang sedang bermain?
Bisnis Gula dan Kepentingan Oligarki
Impor gula bukanlah sekadar urusan perdagangan. Ini adalah ladang emas bagi segelintir pemain besar yang menguasai industri pangan nasional. Fakta bahwa 10 perusahaan swasta mendapat izin impor dari Tom Lembong, tanpa restu Kementerian Perindustrian, tentu menjadi celah bagi jaksa untuk menuduhnya bertindak melampaui kewenangan.
Tapi mari kita jujur—sejak kapan urusan impor gula bebas dari kepentingan oligarki? Sejumlah perusahaan raksasa sudah lama mendominasi bisnis ini, mengontrol pasokan, hingga memainkan harga di pasar. Tom Lembong mungkin memang melakukan manuver di luar prosedur birokrasi yang kaku, tapi apakah itu cukup untuk menjeratnya sebagai koruptor?
Jika kita melihat ke belakang, banyak kasus serupa yang justru berujung pada kriminalisasi individu, sementara aktor-aktor besar tetap melenggang bebas. Apakah ini hanya upaya menjatuhkan seorang tokoh reformis yang dianggap mengganggu kepentingan para penguasa bisnis?
Hukum untuk Keadilan, Bukan Alat Balas Dendam
Bagi publik, kasus ini harus menjadi alarm. Apakah hukum benar-benar ditegakkan demi keadilan, atau hanya alat bagi segelintir orang untuk menghabisi lawan politik dan bisnis mereka?
Jika Tom Lembong memang bersalah, tentu dia harus bertanggung jawab. Tapi jika kasus ini penuh kejanggalan, maka kita juga perlu bertanya: Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari dakwaan ini?
Di negeri ini, terlalu sering kita melihat orang yang benar dikalahkan oleh sistem, sementara yang salah terus menikmati kebebasan. Jangan sampai kasus ini hanya menjadi satu lagi kisah klasik: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
redaksi, mediaglobenasional.com
Posting Komentar