no fucking license
Bookmark

Negeri Ini dan "Sertifikat Laut": Warisan Pemerintahan yang Keblinger

 

Opini Azam Khan – Advokat, Sekjen TPUA & Ketum Kontra'sm

GLOBE NASIONAL -SAYA tidak sedang menyoroti satu-dua sertifikat tanah yang bermasalah. Saya tidak sedang menduga-duga siapa mafia besar yang bermain di balik gurita sengketa lahan. Saya juga tidak sedang mengatakan bahwa semua ini hanyalah rekayasa sistematis untuk menggiring aset negara ke tangan-tangan oligarki.

Tapi, saya ingin menempatkan absurditas ini dalam bingkai yang lebih besar—warisan sebuah pemerintahan yang gagal memahami hukum, gagal menegakkan keadilan, dan bahkan gagal menggunakan akal sehat.

Di negeri ini, sertifikat tanah sudah lama menjadi alat transaksi politik. Dulu, sertifikat diberikan dengan janji manis dalam kampanye, seolah rakyat butuh selembar kertas lebih dari kepastian hukum. Kini, warisan keblinger itu mencapai puncaknya: bukan hanya tanah yang disertifikatkan, tapi LAUT pun kini diklaim sebagai hak milik pribadi!

Saya tidak sedang mengada-ada. Ini benar-benar terjadi. Di Sumenep, Jawa Timur, 21 hektare lautan tiba-tiba memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Pemerintahan sebelumnya mungkin tidak sempat berpikir bahwa setelah sawah dan gunung digadai, kini laut pun ikut digenggam mafia.

Ketika Negara Tidak Lagi Paham Batasan Hak Milik

Mari kita ingat kembali apa itu hak milik. Dalam hukum agraria, hanya benda tetap yang bisa memiliki sertifikat hak milik. Tapi entah bagaimana, logika itu dilompati dengan penuh kepercayaan diri oleh birokrasi yang buta hukum.

  1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dengan tegas menyatakan bahwa hak milik hanya bisa diberikan atas tanah.
  2. UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyatakan bahwa laut adalah milik publik dan tidak bisa diklaim individu.
  3. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 menegaskan bahwa pesisir dan pulau-pulau kecil tidak bisa dialihfungsikan sembarangan.

Lalu bagaimana mungkin BPN bisa mengeluarkan SHM atas laut? Apakah hukum sudah berubah jadi permainan para pesulap birokrasi? Ataukah ini hanya bukti bahwa pemerintahan yang lalu memang lebih peduli pada transaksi politik daripada menegakkan aturan?

Sertifikat Laut: Warisan Administrasi "Ndableg"

Saya ingat, di pemerintahan sebelumnya, banyak orang yang mendewakan sertifikat sebagai prestasi pembangunan. Entah berapa kali rakyat dipameri sertifikat tanah dengan bangga, seolah itu adalah bukti keberhasilan menyejahterakan negeri.

Tapi sekarang, apa yang kita tuai dari politik sertifikat itu?

  1. Ribuan konflik agraria yang tak kunjung selesai.
  2. Mafia tanah yang semakin rakus, sekarang bahkan menjamah lautan.
  3. Negara yang makin kehilangan kendali atas asetnya sendiri.

Negeri ini mungkin sudah lelah dengan warisan keblinger itu. Dulu, tanah dibagi-bagi dengan janji kesejahteraan, tapi nyatanya hanya membuka peluang bagi spekulan dan investor besar untuk mengangkangi aset publik. Sekarang, jejaknya berlanjut ke laut.

Mafia Tanah yang Kini Menyebrang ke Lautan

Dulu, kita mengenal mafia tanah sebagai jaringan yang bekerja di daratan:

  1. Mereka mengincar tanah rakyat yang belum bersertifikat.
  2. Mereka bermain dengan oknum di BPN, mengeluarkan sertifikat bodong.
  3. Mereka menjual tanah itu ke pihak ketiga dengan harga tinggi.

Kini, skema itu diperluas ke lautan. Jangan kaget kalau suatu hari nanti nelayan yang mencari ikan di laut sendiri harus membayar retribusi kepada "pemilik" sertifikat laut!

Pertanyaannya: siapa yang bermain di balik ini semua?

Ketika Pemerintahan yang Lalu Lebih Sibuk Kampanye daripada Berpikir Jangka Panjang

Warisan kebijakan asal-asalan inilah yang kini kita hadapi. Sebuah pemerintahan yang lebih sibuk membuat citra daripada membangun sistem hukum yang benar.

Mereka sibuk membagi-bagikan sertifikat, tapi lupa mengontrol penerbitannya.
Mereka bangga menciptakan "reformasi agraria", tapi lupa bahwa mafia justru ikut menikmati program itu.
Mereka terobsesi dengan angka-angka statistik, tapi lupa bahwa hukum harus tetap berdiri di atas akal sehat.

Dan kini, kita mewarisi kekacauan itu.

Rakyat Tidak Sebodoh Itu!

Dulu, ketika sertifikat tanah dibagi-bagikan dengan gratis, rakyat mungkin senang. Tapi kini, rakyat semakin cerdas. Mereka tahu bahwa sertifikat bukan jaminan keadilan.

Sama seperti mereka yang dulu percaya pada janji-janji politik, kini mereka mulai sadar bahwa apa yang diberikan oleh pemerintahan sebelumnya belum tentu membawa manfaat nyata.

Jangan salahkan rakyat jika mulai muncul perlawanan!

Jika negara tetap "ndeleming"—mengigau dalam hukum dan membiarkan mafia menguasai laut—rakyat sendiri yang akan menenggelamkan kalian dengan gelombang perlawanan!

Jadi, silakan lanjutkan warisan keblinger ini. Silakan terus bermain-main dengan sertifikat, mengigau dengan aturan, dan menutup mata terhadap hukum.

Tapi ingat, hukum tidak selamanya bisa dipermainkan.

Dan rakyat? Mereka tidak selamanya bisa dibodohi.

Penulis: Azam Khan & partner
Editor: Rofiq

Posting Komentar

Posting Komentar