MEDIA GLOBE NASIONAL -Tepat pada Senin, 29 September 2025, sekitar pukul 15.00 WIB, dunia pendidikan Islam kembali berduka. Gedung tiga lantai Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny, yang berlokasi di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ambruk saat ratusan santri sedang melaksanakan salat Asar berjamaah.
Berdasarkan pantauan Media Globe Nasional di lokasi kejadian, suasana berubah mencekam hanya dalam hitungan detik. Puluhan santri ditemukan meninggal dunia dalam kondisi mengenaskan. Sebagian masih berseragam dan berada dalam posisi bersujud di bawah timbunan reruntuhan beton.
Proses evakuasi berlangsung hingga dini hari, melibatkan personel BPBD, TNI, Polri, Basarnas, serta ratusan relawan kemanusiaan dari berbagai daerah.
Menurut keterangan BNPB, bangunan musala dan asrama santri diduga tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Sementara Basarnas menduga, penyebab utama ambruknya gedung adalah pondasi yang tidak kuat menopang beban tiga lantai.
Pihak pengasuh pondok pesantren juga membenarkan bahwa bangunan tersebut masih dalam tahap renovasi saat kejadian berlangsung.
Berdasarkan data terbaru BNPB hingga Minggu (5/10/2025) pagi, tercatat 149 korban berhasil dievakuasi. Dari jumlah tersebut, 104 orang selamat dan 45 orang meninggal dunia. Sebelumnya, data sementara menyebutkan 37 korban tewas, namun pencarian lanjutan menemukan korban tambahan yang masih terjebak di bawah reruntuhan. Hingga kini, tim SAR masih terus melakukan pencarian dengan bantuan alat berat dan dukungan medis lapangan.
Peristiwa memilukan ini mendapat sorotan tajam dari Azam Khan, seorang advokat sekaligus Ketua Umum Komisi Perlindungan Hukum dan Hak-hak Rakyat (KONTRA’SM) serta Sekretaris Jenderal Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA).
“Ini bukan bencana semata. Ini kelalaian yang berwajah ibadah. Jangan ada yang berlindung di balik sorban untuk menutupi kesalahan konstruksi dan pengawasan,” tegas Azam Khan, Minggu malam (5/10).
Azam menilai, ambruknya bangunan Ponpes Al-Khoziny bukan sekadar kesedihan, tetapi bukti nyata kelalaian sistemik dalam pengawasan pembangunan lembaga pendidikan keagamaan.
“Kalau bisa ambruk seperti ini, artinya ada yang salah — entah di izinnya, pengawasan teknisnya, atau di proses konstruksinya. Itu bisa dijerat dengan Pasal 359 dan 360 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian,” ujarnya.
Lebih lanjut, Azam menyatakan kesiapannya memberikan pendampingan hukum tanpa bayaran bagi keluarga korban.
“Kami siap dampingi para orang tua santri tanpa sepeser pun bayaran. Ini bukan soal uang, tapi soal keadilan bagi anak-anak bangsa yang gugur di tempat menimba ilmu,” ucapnya dengan nada tegas.
Sementara itu, warga sekitar mengaku terkejut karena bangunan tersebut baru saja selesai direnovasi beberapa bulan lalu. Mereka menilai pengerjaannya terkesan tergesa-gesa dan tidak melalui pengawasan ketat.
“Kelihatan megah memang, tapi belum lama selesai sudah ambruk. Pondasinya kayaknya gak kuat,” tutur warga Buduran yang turut membantu proses evakuasi.
Azam Khan mendesak pemerintah pusat dan daerah agar melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh pondok pesantren di Indonesia, terutama yang memiliki bangunan bertingkat tanpa sertifikat laik fungsi atau izin resmi.
“Tragedi ini harus jadi alarm nasional. Jangan tunggu ambruk lagi baru bertindak. Santri itu amanah, bukan korban dari sistem yang lalai,” pungkasnya.
Kontributor: Tim
Editor: fiq
Posting Komentar