no fucking license
Bookmark

Salus Filli Suprema Lex Esto - Kesejahteraan Anak Merupakan Hukum tertinggi

 

foto, Putusan MK dan MA yang dinilai menguntungkan keluarga pejabat tertentu dalam kontestasi politik memicu perdebatan sengit. Opini yang ditulis oleh Salim A. Vad'aq, C.Ps., C.PSt., C,MD berjudul "Salus Filli Suprema Lex Esto" mengangkat isu penting tentang demokrasi dan nepotisme di Indonesia.
Putusan MK dan MA yang dinilai menguntungkan keluarga pejabat tertentu dalam kontestasi politik memicu perdebatan sengit. Opini yang ditulis oleh Salim A. Vad'aq, C.Ps., C.PSt., C,MD berjudul "Salus Filli Suprema Lex Esto" mengangkat isu penting tentang demokrasi dan nepotisme di Indonesia.


Penulis: Salim A Vad’aq, C.Ps., C.PSt., C,MD (Akademisi UIN Antasari Banjarmasin)

Banjarmasin, mediaglobenasional.com -Gonjang-Ganjing perihal putusan MK terutama mengenai 169 huruf q UU No 217 tahun 2017 tentang Pemilu belum surut total, kini kejutan diberikan oleh saudara peradilan MK yaitu MA.

Putusan MA 23 P/HUM/2024 yang mengabulkan gugatan ketua partai garuda mengenai pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU nomor 9 tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota memang sekilas tidak ada masalah. Begitu juga beberapa teman-teman saya sesama mahasiswa hukum ketika saya tanya juga menganggap biasa-biasa saja. Namun sudahkah kita melihat lebih jeli?

27-29 Agustus mendatang, pendaftaran calon kepala daerah akan dibuka oleh KPU. Semua putera-puteri terbaik bangsa boleh turut berpartisipasi sebagai indikasi jalannya prinsip demokrasi di republik kita. Namun pertanyaannya adalah apakah memang demokrasi kita adalah sebenar-benarnya demokrasi?

Seperti kata Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ini bermakna, demokrasi idealnya adalah mengakomodasi pemerintahan yang lahir dari rahim rakyat karena ujung-ujungnya memang yang diperintah adalah rakyat sehingga pemerintahan haruslah mewujudkan kesejahteraan rakyat atau dalam adagium latin berbunyi salus populi suprema lex esto bermakna kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi. Prinsip ini yang menjadi pembeda jelas dengan monarki dimana pemerintahan berdasar pada dinasti atau keluarga penguasa suatu negara. 

Demokrasi muncul atas traumatik masyarakat Prancis ketika Raja Prancis saat itu, Louis XVI untuk menyejahterakan istrinya bersama keluarganya yang hedon, Marie Antoinette dengan menghamburkan uang saat rakyatnya kelaparan. Antoinette hanya peduli kepada keluarga dan pertemanannya saja. Dari situlah, pecah revolusi Prancis dengan semangat “membatasi” suatu keluarga untuk berkuasa. 

Artinya, kalau sampai ada pemerintahan di negara demokrasi yang dikelola oleh keluarganya sendiri semisal Presidennya adalah si bapak, kemudian mempersiapkan untuk putera mahkota menjadi wakil presiden, suami dari anak putrinya menjadi walikota yang kemudian menjadikan paman suaminya sebagai sekretaris daerahnya, lalu si anak bungsu kemudian dipersiapkan menjadi gubernur, bukankah itu artinya “mengkhianati” demokrasi?

Mari kita kembali mempertanyakan kejelian kita terhadap tegaknya prinsip demokrasi negara ini. Partai Gerindra seperti memberi sinyal pada perhelatan pilihan gubernur (pilgub) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) akan memasangkan kadernya, Budisatrio Djiwandono dengan Kaesang Pangarep. Lalu masalahnya dimana? Nama terakhir adalah salah satu putera “istana” Joko Widodo. 

Ada yang “ngeh” apa persamaan antara putusan MA no 23 P/HUM/2024 dan MK no 90/PUU-XXI/2023? Sama-sama menunjukkan indikasi nafsu seorang yang kini menjabat sebagai seorang presiden untuk mendudukkan putera-puteranya. Pola yang ditunjukkan pun sama, yaitu sama-sama diajukan saat dekat dengan kontestasi politik dan sama-sama dibuat dengan bunyi pasal “ngeles”. Mari kita lebih jeli kembali.

Pada sinyal pencalonan Gibran saat itu, majunya Gibran terkendala akan batas usia sebagai syarat calon wakil presiden. Gibran saat itu berusia 36 tahun, tentu ini bermakna Gibran tidak berkualifikasi memenuhi syarat. Alih-alih mempersiapkan Gibran untuk pilpres 2029, maka jalur MK pun ditempuh dan UU pun diuji untuk mempersiapkan pasal yang mengakomodasi hambatan Gibran. Hasilnya, sekalipun Gibran jauh dari usia 40 tahun, namun karena Gibran pernah menjadi walikota Solo maka tiket pun diperoleh. Kini, Gibran telah sah menjadi wakil presiden terpilih bergandeng dengan Prabowo sebagai presiden terpilih.

Preseden keberhasilan Gibran mengilhami untuk mendorong adiknya, Kaesang untuk mengikuti jejak kakaknya. H-2 bulan tersisa dipersiapkan untuk sang adik, Kaesang Pangarep yang “ngarep (bahasa jawa;ingin)” untuk menjadi calon wakil gubernur. Kaesang memiliki hambatan yang sama seperti kakaknya, yaitu kurangnya kualifikasi umur. Untuk mendaftar menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, syarat umur yang harus dipenuhi adalah minimal berusia 30 tahun. Wah sayang sekali, kurang setahun saja Kaesang bisa mendaftar. Namun jangan kuatir, dimana ada kemauan anak disitu ada jalan. Ubah saja PKPU-nya melalui uji materi! yang agak konyol bagi saya, amar putusan seolah berkata “gapapa belum 30 tahun asal ketika dilantik genap usia 30 tahun. Laah, dagel sekali bukan? dimana landasan filosofisnya? kata orang Jawa “Kok sakarepe dewe wae yo (Kok seenaknya sendiri saja ya)” Seperti republik ini punya keluarga mereka saja.

Saya terheran-heran, kenapa amar putusan mengubah ketentuan usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun dihitung saat pelantikan? kenapa amar putusan tidak mengikuti seperti putusan MK sebelumnya semisal pernah atau sedang menjabat kepala daerah semisal bupati? Oh ya, karena memang belum pernah jadi bupati.

Bagaimana kita sebagai rakyat tidak suuzon kalau begitu caranya? Kata netizen, 2029 nanti, uji saja undang-undang atau peraturan dibawah undang-undangnya lagi untuk Jan Ethes menjadi bupati atau walikota.

Tapi kan ujung-ujungnya, rakyat yang memilih to? Presiden Korea Utara juga dipilih rakyat, tapi yang berkuasa dinasti Kim melulu. Hukum “diakali” untuk melanggengkan dinasti Kim. Berarti, Korea Utara demokrasi juga dong! Jadi, ingin Indonesia berdemokrasi ala Korea Utara?

Ya, memang kasih orang tua kepada anaknya begitu besar, apapun dilakukan agar anaknya sukses. Tapi ya ga gitu caranya, mukidi. Soekarno-Hatta saja ketika ditawarkan menjadi raja bagi negara Indonesia oleh Jepang saat itu, menolak. Lah, ini malah membentuk dinasti.

Itulah kenapa, sepertinya saat ini demokrasi kita bukan mencerminkan “Salus populi suprema lex esto - Kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi”, tapi “Salus fili suprema lex esto - Kesejahteraan anak merupakan hukum tertinggi”

Lalu bagaimana nasib demokrasi republik tercinta ini? Yoo ndak tau, ko tanya saya!

Posting Komentar

Posting Komentar