no fucking license
Bookmark

A Theory of Justice: Pandangan Keadilan John Rawls dan analisis diskursus All Eyes on Papua

 mediaglobenasional.com

salim
Foto : Salim A Vad’aq
Rubrik Hukum

Diskursus konsep keadilan senantiasa diupayakan oleh para filosof untuk dirumuskan seperti apa konsep keadilan yang dikehendaki oleh seluruh pihak. Alokasi konsep keadilan ditujukan agar dapat mengetengahi setiap pihak untuk dapat merasakan porsi keadilan sebagaimana mestinya.

Ini persoalan yang juga menjadi idea (pemikiran) perdebatan alam pikir bangsa Yunani. Pandangan bangsa Yunani yang menilai bahwa setiap manusia memiliki virtus masing-masing adalah sah dan tidak dapat dipersoalkan. Ruginya konsep keadilan dimana virtus dan actus adalah seperti rantai tergembok dalam format yang disusun berupa legalistik-formil, akhirnya menimbulkan persoalan makna dari keadilan itu sendiri.
 
Keadilan mestilah mengandung prinsip sesuatu keutamaan (virtus) yang ditempatkan pada potensinya (actus). Adalah malapetaka yang didapat apabila menyelisihi unsur tersebut. Demikian, alam pikir kita normalnya sebagai manusia berpikir, demikian juga oleh perdebatan kaum sophis Yunani. Permasalahan sederhana adalah bagaimana penilaian kita terhadap kasus pembunuhan?
 
Tentu, semua bersepakat adalah tindakan keji bagi pelaku sebagai pembunuh. Persoalan timbul, apakah kita tetap konsisten dan berintegritas untuk mempertahankan keyakinan kita bahwa membunuh seorang koruptor adalah tindakan keji lagi hina?

Prinsip dasar sebuah keadilan adalah terpenuhinya unsur Basic Liberties dan equal opportunity. Unsur dasar ini untuk menggaransi virtus masing-masing individu. Kemudian oleh Aristoteles dilebarkan kembali pemaknaannya ketika seseorang telah mengaplikasikan virtus yang dia miliki dalam actus-nya disebut sebagai self respect masing-masing Individu. Self respect individu adalah meliputi hal-hal yang dipegang tiap individu berupa pandangan hidup, cara hidup, opini, maupun kebebasan berekspresi.
 
Persoalannya adalah harus disadari bahwa setiap individu dan masyarakat adalah tidak sama baik latar belakang, status sosial, hingga virtus yang dimilikinya John Rawls dalam “A Theory of Justice” mendudukkan konsep fairness adalah konsep asali (state of nature). Rawls mengutip 2 pandangan berbeda dari teori kontrak sosial ala Hobbes dan Locke. Hobbes menilai bahwa konsep asali manusia adalah kondisi perang untuk melawan semua agar mencapai kondisi ideal yang dikehendakinya, serta siapapun yang memiliki kesamaan tujuan secara naluriah mereka akan menggabungkan diri dalam sebuah kelompok institusi bernama negara agar sama-sama saling melindungi.
 
Sedangkan di sisi lain Locke justru menilai karena manusia sama-sama memiliki kebebasan dan kesetaraan, maka manusia akan berserikat untuk membentuk sebuah institusi bernama negara agar melindungi hak-hak dan virtue nya.

Anggaplah kontrak sosial baik dari pandangan Hobbes dan Locke terwujud yaitu memunculkan sebuah tatatan masyarakat berupa negara. Lalu, dimana letak dan posisi tiap individu di strata masyarakatnya? Siapakah yang berhak menjadi seorang raja maupun seorang petani? Dan bisakah seorang raja memaksakan kehendaknya kepada seorang petani? Apabila bisa, bukankah itu menyalahi prinsip dasar keadilan berupa “basic liberties”?

Disinilah John Rawls merumuskan kembali bagaimana pandangan Rawls tentang fairness pada kehidupan. Rawls menyadari bahwa adanya kesenjangan posisi tiap individu pada tatanan masyarakat serta majemuknya idea akan menghambat munculnya sebuah kesepakatan, tapi di satu sisi masyarakat akan terus bergerak untuk memperoleh apa yang dikehendakinya (self respect). Meminjam konsep Regulative Idea dari Aristoteles, Rawls mengajukan sebuah proposal bahwa perlunya sebuah nalar public (public reason).

Urgensi adanya nalar publik setidaknya Rawls mencanangkan 5 argumentasi fundamental yaitu 1) Seharusnya untuk mendiskusikan hal pokok dalam isu masyarakat, 2) Pemerintah adalah pihak berwenang yang melaksanakan nalar publik yang disepakati, 3) Haruslah dirumuskan dengan pokok-pokok yang masuk akal, 4) Semua pihak harus memandu terbentuknya aturan dasar, 5) Aturan yang terbentuk haruslah melalui proses review dan berunsur resiprokal.

Apa yang diharapkan (das sollen) dengan hal yang terjadi di lapangan (das sein) sering menimbulkan gap.
 
Adanya kesenjangan status sosial dan latar belakang menimbulkan salah satu individu atau masyarakat memiliki surplus kuasa terhadap virtue-nya, sehingga dapat memaksakan apa yang dikehendakinya terhadap suatu hal (actus). Katakanlah misal pada kasus “All Eyes on Papua” adalah contoh nyata bagaiamana konglomerasi borjuis mendapat karpet merah dari pemerintah terutama kementerian kehutanan untuk mengeksplorasi hutan adat yang ada di Papua.

Sewenang-wenang, melupakan entitas masyarakat adat Papua yang telah menghuni hutan tersebut serta memiliki virtue untuk memilih hidup dari hutan dan memberi timbal balik yang baik pula terhadap hutan (actus).

Apabila kita cermati lebih dalam, disinilah letah paradoks keadilan. Satu sisi, masyarakat adat Papua adalah penghuni awal bahkan sebelum republik ini ada sekalipun tanpa sertifikat tanah sebagaimana aturan yang ditetapkan negara, dan disisi yang lain konglomerasi borjuis juga memiliki hak untuk mengembangkan gurita bisnis yang juga memberi keuntungan kepada para buruh untuk hidup.
 
Artinya, memilih salah satu pihak juga tidak memberi keadilan bukan?

Disinilah, nalar publik berupa Regulative idea di ekstensikan oleh Rawls. Kasus diatas merupakan contoh ketimpangan status sosial, sehingga tidak bisa kita meletakkan keadilan yang sama. Maka, perlunya pendekatan yang beda berupa difference principle (prinsip perbedaan). Karena konglomerasi borjuis memiliki suprlus kuasa dan masyarakat adat memiliki minus kuasa, maka harus ditarik menuju titik ekuilibrium.
 
Titik kesetimbangan dimana harus memaksa untuk mengurangi kepentingan borjuis agar tidak mengusik masyarakat adat Papua yang senior hidup disana sehingga tanah dan hutan yang mereka jaga dari generasi ke generasi senantiasa dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Kembali merumuskan konsistensi kita terhadap suatu pertanyaan apakah masih disebut adil apabila membunuh seorang koruptor? Ya, berdasarkan pendekatan difference principal oleh Rawls adalah adil karena koruptor memiliki surplus kuasa dengan mengkerdilkan bahkan meniadakan kuasa pihak yang lemah untuk menikmati haknya pada kehidupan publik. 

Namun, tetap pihak yang dibenarkan dalam membunuh koruptor adalah pihak berwenang dalam konteks ini adalah pemerintah yang berwenang membuat aturan dan telah merumuskan nalar publik yang disepakati demi menjamin hak-hak warga negara dalam kehidupan publik.

Inilah konsep negara kesejahteraaan.


Sehingga, teori keadilan Rawls mengakui adanya kemajemukan ide dan virtue dari tiap entitas dan setiap unsur ini haruslah memperoleh kebebasan dan kesempatan yang sama. Itulah yang disebut fairness (keadilan), Namun apabila ditemui adanya kesenjangan posisi antar entitas, maka berlaku prinsip perbedaan dimana yang surplus kuasa harus ditarik ke bawah secara memaksa atau menaikkan yang minus kuasa untuk mencapai keseimbangan keadilan.

@Salim/mediaglobenasional.com

Posting Komentar

Posting Komentar