Di Banyuwangi, seniman patung berkeringat bukan hanya karena pahatan. Ia berkeringat karena ambisi, ambisi yang unik, memindahkan batu sebesar kerbau seorang diri. Sebuah ambisi yang memicu tanya, mungkinkah ini terwujud?
Batu sebesar kerbau, bukan sembarang batu. Memindahkannya membutuhkan kerjasama, gotong royong, bahu membahu. Tapi sang seniman memilih jalan terjal, ingin melakukannya sendiri. Ia lupa, bahwa seni sejati bukan tentang ego, tapi tentang kolaborasi.
Bayangkan jika batu itu dipahat menjadi singa gagah di tengah sungai. Sebuah simbol kekuatan, semangat, dan kegigihan. Sebuah karya seni yang tak hanya indah, tapi juga inspiratif. Tapi seniman itu memilih memahatnya di rumah, mengurung karyanya dalam tembok kesendirian.
Kisah ini bagaikan metafora budaya di era modern. Kita sering terjebak dalam ego, ingin berkarya sendiri, tanpa peduli kerjasama. Kita lupa, bahwa budaya bagaikan batu besar, membutuhkan gotong royong untuk dilestarikan.
Marilah kita jadikan budaya sebagai jembatan persatuan. Saling bahu membahu, melestarikan warisan leluhur. Gotong royong bukan hanya untuk memindahkan batu, tapi juga untuk menjaga semangat budaya bangsa.
Budaya bukan milik segelintir orang, tapi milik kita semua. Mari kita rawat bersama, lestarikan bersama. Jadikan budaya sebagai tarian indah yang mempersatukan, mengantarkan Indonesia menuju masa depan gemilang.
Bersama, kita jaga budaya, lestarikan warisan, dan wujudkan Banyuwangi yang berbudaya dan bersatu. Ingatlah, budaya adalah nafas bangsa. Tanpa budaya, bagaikan tubuh tanpa ruh. Mari menari budaya, lestarikan warisan, dan ukir sejarah gemilang Banyuwangi di masa depan.
@rofiq. mediaglobenasional.com
Posting Komentar