no fucking license
Bookmark

Jilbab dalam Paskibraka: Memaknai Ulang Simbol Kebangsaan dan Kebebasan

15 Agustus 2024/ mediaglobenasional.com

Opini -Dalam ritme kehidupan bangsa yang terus berdenyut, perdebatan tentang jilbab di Paskibraka menyeruak seperti bisikan di tengah keramaian. Ia mengusik kesadaran kita, menantang batas antara keseragaman dan keragaman, antara kebangsaan dan kebebasan. Jilbab, dalam konteks ini, bukan sekadar lembaran kain yang menutupi kepala, melainkan simbol identitas dan keyakinan, sebuah deklarasi tentang siapa kita dan apa yang kita yakini.

Di tengah wacana yang berkecamuk, kita dihadapkan pada sebuah dilema: apakah jilbab di Paskibraka adalah anomali dalam seragam kebangsaan, atau justru manifestasi dari Bhinneka Tunggal Ika? Seragam Paskibraka selama ini menjadi lambang dari persatuan nasional, seolah berkata bahwa dalam kebersamaan kita kuat. Namun, tidakkah kebersamaan yang menolak perbedaan justru menjadi tirani?

Ketika kita berbicara tentang Paskibraka, kita berbicara tentang wajah Indonesia di hari kemerdekaan, wajah yang seharusnya memancarkan kebanggaan akan keberagaman budaya, agama, dan adat istiadat. Paskibraka bukanlah monolit yang kaku, melainkan orkestra yang harus mampu menyerap dan mengalirkan harmoni dari segala sisi Nusantara. 

Jilbab di Paskibraka seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan, melainkan sebagai perwujudan dari cinta yang mengakar dalam kebebasan beragama. Dalam cinta itu, ada kebijaksanaan. Seperti rumus: Cinta plus Ilmu = Kebijaksanaan. Sebaliknya, Cinta minus Ilmu hanya membawa pada kebutaan. Cinta plus Kepentingan bisa berakhir pada kehancuran, seperti halnya Kebencian plus Kepentingan menghasilkan Firaunisme, sebuah otoritarianisme yang menyekat kebebasan.

Indonesia adalah Subjek Besar di muka bumi, sebuah negeri dengan sejarah panjang tentang kebijaksanaan dan karakter manusia. Bangsa ini adalah Garuda, terbang tinggi mengangkasa, bukan bebek yang tunduk. Indonesia adalah Ibu Pertiwi, penuh martabat, bukan perempuan pelacur yang terbelenggu. Ia adalah Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan sekadar ekor globalisasi yang mengikuti arus. 

Dalam kontroversi ini, kita harus bijaksana dan bertanya pada diri sendiri: apakah kita ingin menjadi bangsa yang inklusif, yang merangkul semua warna dalam pelangi kebangsaan? Ataukah kita ingin menjadi bangsa yang terjebak dalam kekakuan konservatisme, membelenggu diri dalam batas-batas yang kita ciptakan sendiri?

Jilbab dalam Paskibraka adalah sebuah langkah menuju Indonesia yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih mencintai keragaman. Dan ketika kita berdiri di hadapan bendera merah putih, marilah kita ingat bahwa kemerdekaan sejati adalah kebebasan untuk menjadi diri sendiri, untuk menghormati dan merayakan setiap perbedaan yang ada di antara kita. Karena pada akhirnya, Bhinneka Tunggal Ika adalah belajar mencintai dan saling menerima. Dan masa depan kita bergantung pada kebijaksanaan untuk menghargai setiap warna yang membentuk identitas bangsa.

Penulis @ rofiq

Editing : [redaksi mediaglobenasional.com]

Posting Komentar

Posting Komentar