"Ini bukan sekadar lagu, ini adalah kritik sosial. Jika sebuah karya seni yang menyuarakan keresahan rakyat harus dihapus karena tekanan, maka kita harus bertanya: seberapa bebas kita sebenarnya?" ujar Azam dalam sebuah rekaman yang beredar di publik.
Kritik yang Berulang: Dari "Hio" Hingga "Bayar Polisi"
Lagu "Bayar Polisi" mengangkat isu tentang dugaan praktik pungutan liar dalam institusi kepolisian, mulai dari pembuatan SIM hingga tilang di jalanan. Hal ini bukanlah hal baru dalam dunia musik Indonesia. Sebelumnya, lagu "Hio" milik Iwan Fals juga sempat dilarang di era Orde Baru karena liriknya yang dianggap terlalu tajam dalam mengkritik aparat keamanan.
Tak hanya Iwan Fals, beberapa musisi lain seperti Marjinal dan Efek Rumah Kaca juga pernah mengalami tekanan ketika lagu-lagu mereka menyentil realitas sosial yang dianggap sensitif. Apakah ini pola yang terus berulang?
Menurut Azam, keberadaan kritik dalam seni adalah indikator sehatnya demokrasi. "Seni adalah cerminan zaman. Jika kritik dalam musik dibungkam, itu berarti ada sesuatu yang sedang disembunyikan," tambahnya.
Penarikan Lagu dan Permintaan Maaf: Ada Tekanan?
Pada 20 Februari 2025, dua personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti (gitaris) dan Novi Citra Indriyati (vokalis), mengumumkan bahwa mereka menarik lagu tersebut dan meminta maaf kepada Kapolri dan institusi kepolisian. Langkah ini justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
"Apakah permintaan maaf itu murni dari mereka, atau ada tekanan dari pihak berwenang? Jika memang ada intervensi, ini adalah pelanggaran terhadap hak berekspresi yang dijamin oleh konstitusi," kata Azam.
Menurutnya lagi, meskipun institusi kepolisian berhak merasa tidak nyaman dengan kritik, langkah terbaik bukanlah membungkam, melainkan menjawab kritik tersebut dengan transparansi dan reformasi internal. "Jika memang tidak ada pelanggaran, mengapa harus takut pada sebuah lagu?" ujarnya.
Kapolri Buka Suara
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo akhirnya menanggapi kontroversi ini. Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menekan atau meminta lagu tersebut dihapus.
"Kami menghargai kebebasan berekspresi, selama tidak mengandung ujaran kebencian atau fitnah. Jika ada kritik, kami siap mendengarkan dan berbenah," ujar Kapolri dalam konferensi pers.
Namun, pernyataan ini belum cukup meredakan spekulasi di publik. Banyak yang masih mempertanyakan apakah ada tekanan tidak langsung yang membuat Sukatani memilih untuk menarik lagunya.
Kebebasan Berekspresi: Masih Ada Ruang?
Kasus ini kembali mempertanyakan seberapa besar ruang kebebasan berekspresi di Indonesia. Apakah kritik masih boleh disuarakan? Atau harus selalu dibungkam dengan dalih "meresahkan"?
Azam Khan menegaskan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan kritik, bukan ketakutan. "Jika kritik itu benar, perbaikilah. Jika salah, jelaskan dengan fakta. Tapi jangan dibungkam," pungkasnya.
Posting Komentar