Ketua Umum Kontra’SM yang juga Sekjen TPUA itu menegaskan, mekanisme nonaktif sama sekali tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3. “Yang ada hanyalah pemberhentian antar waktu (PAW) sebagaimana tercantum dalam Pasal 239. Jadi status nonaktif itu hanya akal-akalan politik, dan jelas merugikan rakyat,” tegas Azam Khan dalam wawancara khusus, Senin (1/9).
Azam menilai, pemberian status nonaktif sambil tetap memberikan gaji dan tunjangan adalah bentuk pengelabuan publik. “Ini penghinaan terhadap rakyat. Bagaimana mungkin seorang anggota DPR tidak bekerja, tapi hak finansialnya tetap jalan? Sementara rakyat sedang susah,” ujarnya.
Ia juga menyoroti fenomena naiknya tunjangan anggota legislatif yang terjadi di tengah merosotnya daya beli masyarakat. “Ketika rakyat kesulitan, para wakilnya justru menari kegirangan karena tunjangan mereka naik. Di mana kepekaan dan moralitasnya?” sindirnya.
Menurut Azam, kasus lima anggota DPR yang di-nonaktifkan hanyalah puncak dari gunung es masalah yang lebih serius: lemahnya integritas dan buruknya sistem rekrutmen politik. “Ini bukan sekadar soal individu yang di-nonaktifkan. DPR jangan sampai jadi pasar malam, ramai sensasi tapi kosong fungsi. Rakyat butuh wakil yang amanah, bukan artis politik yang sibuk bikin kontroversi,” kritiknya.
Dalam pernyataannya, Azam Khan menyampaikan tiga tuntutan tegas:
Menghentikan praktik nonaktif yang bertentangan dengan UU MD3.
Membuka seluruh proses dan keputusan DPR secara transparan kepada publik.
Mengusut elit partai yang menjadikan DPR sebagai alat dagang kekuasaan.
“Negara ini bukan milik segelintir elit. Negara ini milik seluruh rakyat Indonesia. Suara rakyat bukan untuk dibeli, dan rakyat tidak akan selamanya diam,” pungkas Azam Khan.
[fiq]
Posting Komentar