no fucking license
Bookmark

Paksaan Bersorban Amal: Azam Khan Bongkar Potongan 2,5 Persen ASN Sumenep

 

Azam Khan, Ketua Umum KONTRA’SM dan Sekjen TPUA, saat diwawancarai Media Globe Nasional [18/10/2025]
MEDIA GLOBE NASIONAL -Sumenep -Beberapa hari terakhir, bisik-bisik para guru di Kabupaten Sumenep mulai terdengar — pelan, tapi tajam.

Nada getir mereka menyeruak dari ruang-ruang guru, dari meja administrasi, dari sela gaji yang tiba-tiba “berkurang” 2,5 persen tanpa penjelasan memadai.

Kebijakan itu datang tanpa aba-aba, seperti surat yang tak diundang: mendadak hadir, dan harus segera ditandatangani.

Tak banyak tanya, tak ada ruang bertanya. Yang ada hanyalah perintah — bungkusnya amal, tapi rasanya seperti paksa.

Media ini menelusuri bahwa potongan tersebut bersumber dari Instruksi Bupati Sumenep Nomor 100.3.4.2/1/2025, yang kemudian diteruskan melalui surat edaran Dinas Pendidikan.

Dalam surat itu, setiap ASN diwajibkan menandatangani Surat Kuasa atau Standing Instruction kepada bank — baik Bank Jatim maupun BPRS Bhakti Sumekar — agar 2,5 persen dari gaji mereka otomatis dipotong tiap bulan dan disalurkan ke rekening BAZNAS Kabupaten Sumenep.

Seorang guru yang tidak mau disebutkan namanya ditemui Media Globe Nasional mengaku pasrah.

“Kalau tidak tanda tangan, takut dianggap melawan perintah atasan,” ujarnya pelan, tapi matanya berbicara keras.

Suara-suara semacam itu akhirnya sampai ke telinga Azam Khan, advokat nasional asal Sumenep, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Komisi Perlindungan Hukum dan Pembelaan Hak-hak Rakyat (KONTRA’SM) serta Sekretaris Jenderal Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA).

Kini ia berkiprah di Jakarta, namun denyut tanah kelahirannya tetap ia dengar jelas.

Dihubungi MediaGlobe Nasional pada Sabtu sore (18/10/2025), Azam berbicara tegas, tanpa tedeng aling-aling.

“Kalau orang menandatangani karena takut, terpaksa, atau di bawah tekanan, maka menurut hukum perdata, perjanjian itu bisa dibatalkan,” ujarnya lugas.

Menurut Azam, kebijakan ini tidak bisa disebut amal.

Ia menilai ada aroma paksaan terselubung di balik jubah religiusitas yang dipakai untuk menutupi kelemahan kebijakan publik.

“Kalau seseorang memberi karena takut, itu bukan lagi zakat, tapi paksaan yang diselimuti amal,” katanya, dengan suara datar tapi menembus.

Azam menjelaskan, zakat tak bisa dipungut otomatis, apalagi lewat perintah struktural dari birokrasi daerah.

Ia merujuk pada Pasal 1321 dan 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menegaskan: tiada kesepakatan yang sah bila dibuat karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan.

“Kalau ASN diam, bukan berarti mereka ikhlas. Kadang mereka hanya tak berani bersuara,” lanjutnya.

Catatan Media Globe menunjukkan, dasar hukum kebijakan itu hanyalah sebuah Instruksi Bupati, bukan Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati yang memiliki kekuatan hukum tetap.

Padahal, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan Peraturan BAZNAS Nomor 2 Tahun 2016 dengan tegas menyebut bahwa zakat harus didasarkan pada kesadaran pribadi dan bersifat sukarela — bukan kewajiban administratif yang mengikat ASN.

“Zakat itu soal iman, bukan perintah jabatan,” tegas Azam.

“Kalau tiap kepala daerah bisa seenaknya memotong gaji ASN atas nama zakat, itu artinya negara memberi izin kepada bupati untuk jadi debt collector bersorban amal.”

Dari hitungan sederhana, jika terdapat sekitar 50 ribu ASN di Sumenep dengan rata-rata gaji Rp2 juta, maka potongan 2,5 persen itu setara dengan sekitar Rp2,5 miliar setiap bulan.

Jumlah besar yang menimbulkan pertanyaan:

ke mana dana itu mengalir?

Apakah benar sampai ke mustahik, atau sekadar berputar dalam pusaran administrasi?

Bagi Azam, masalah ini bukan pada jumlah, tetapi pada prinsip.

“Amal itu harus lahir dari kesadaran, bukan ketakutan. Kalau mau memberi, biarlah setetes dari hati, bukan satu galon dari tekanan,” katanya menutup tegas.

Azam menilai, kebijakan semacam ini menunjukkan gejala penyusupan nilai agama ke dalam mesin birokrasi tanpa batas etika dan hukum yang jelas.

“Zakat itu hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Ketika pemerintah ikut campur tanpa dasar hukum yang sah, maka yang terjadi bukan ibadah — melainkan intervensi.”

Beberapa guru yang ditemui media ini pun mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi terbuka.

“Tidak ada forum tanya jawab, tidak dijelaskan ke mana uangnya. Pokoknya tanda tangan,” ujar seorang ASN, suaranya menahan getir.

Situasi inilah yang kemudian memantik kritik tajam dari Azam Khan.

Ia mengingatkan, pemerintah daerah jangan sampai mencampuradukkan agama dan administrasi hanya demi simbol kesalehan.

Hingga berita ini diturunkan, Media Globe Nasional belum memperoleh tanggapan resmi dari pihak Pemkab Sumenep, Dinas Pendidikan, maupun BAZNAS Kabupaten Sumenep terkait pernyataan dan keluhan tersebut.

Namun yang pasti, kebijakan ini telah membuka kembali perbincangan lama —tentang di mana batas antara niat baik dan paksaan, antara ibadah dan instruksi, antara amal dan kepatuhan birokrasi.

[Fiq/media globe nasional]

Posting Komentar

Posting Komentar